Seluk Beluk Suku Punan Batu
Ketika Hutan tak Lagi Menjanjikan Bahan Makanan Bagi Suku Punan Batu, Ubi dan Lalihi Sulit Dicari
Cerita Suku Punan Batu di pedalaman Kalimantan Utara, hutan tak lagi menjanjikan bahan makanan, ubi dan Lalihi sulit dicari, terpaksa beralih ke nasi.
Penulis: Maulana Ilhami Fawdi | Editor: Cornel Dimas Satrio
TRIBUNKALTARA.COM, TANJUNG SELOR - Hari mulai malam di tepian Sungai Sajau, pedalaman Kalimantan Utara, Ukop tampak sibuk menyiapkan kayu bakar untuk memasak beras dengan menggunakan panci yang mulai menghitam bagian bawahnya.
Ukop adalah seorang dari Suku Punan Batu yang jumlahnya tersisa 103 orang hingga hari ini.
Masyarakat Suku Punan Batu adalah suku terakhir di Kalimantan yang masih mempertahankan cara hidup berburu dan meramu serta nomaden atau berpindah tempat tinggal.
Beberapa hari terakhir ini, Ukop tinggal di pondok sederhana di tepian Sungai Sajau.
Pondok itu dibangun dengan batang kayu dan terpal serta bekas spanduk sebagai atapnya.

Baca juga: Kisah Suku Punan Batu di Kaltara, Hidup dari Berburu: Kami Ingin Hutan Ini Aman untuk Cari Makan
Beras (nasi) kini menjadi asupan makanan bagi Suku Punan Batu, lantaran ubi tak mudah lagi didapat di dalam hutan tempat mereka tinggal.
Ubi atau biasa disebut ubi kariting (dalam Bahasa Punan), merupakan makanan sehari-hari Suku Punan Batu yang tinggal di pedalaman Kalimantan Utara.
Biasanya Suku Punan Batu memakan ubi kariting dengan campuran minyak babi, kombinasi itu disebut sebagai makanan ternikmat oleh Ukop.
Namun semenjak ubi sulit didapat dan babi sulit diburu, maka Ukop dan Suku Punan Batu lainnya kini mencampurkan nasi dengan minyak goreng.
"Itulah, ubi paling enak dicampur dengan minyak babi. Sekarang sudah mulai susah, sudah tidak ada lagi di hutan," kata Ukop.
Sulitnya mencari ubi kariting juga dirasakan oleh Dewi. Dalam waktu sehari berkeliling di hutan, belum tentu ia bisa membawa pulang ubi kariting.
Adapun ubi kariting yang menjadi makanan sehari-hari Suku Punan Batu ini, tumbuh menjalar.
Seringkali ubi kariting tumbuh di dekat bebatuan, sehingga semakin menyulitkan Suku Punan Batu untuk mencari.
"Kami sering mencarinya tapi tidak dapat, memang susah. Tidak semua ubi kariting ini bisa dimasak, kalau terlalu lembek tidak bisa dimasak, dan kalau memang tidak dapat ya diamlah bertahan tidak makan, tapi sekarang itu kalau tidak ada ubi ya ada nasi," kata Dewi.
Ubi kariting yang makin sulit ditemukan di hutan juga dirasakan oleh Bonon.
Kata dia, kondisi hutan hari ini tak lagi seperti dulu. Kini untuk mendapatkan ubi, dan hewan dari hutan atau ikan dari sungai maka diperlukan kerja keras yang lebih besar.
"Sekarang kami makan nasi, karena susah cari ubi, cari binatang juga sudah susah, cari ikan pun juga susah kita cari," kata Bonon.

Baca juga: Demi Hajat Hidup Suku Punan Batu, Pemkab Bulungan Terbitkan SK Masyarakat Hukum Adat
Tak hanya ubi kariting yang susah dicari, alternatif makanan lainnya seperti keladi yakni Lalihi juga semakin sulit ditemukan.
Tagen mengungkapkan dirinya harus berjalan cukup jauh di hutan untuk menemukan Lalihi.
Sekalipun mendapatkan Lalihi jumlahnya tak terlalu banyak dan hanya bertahan untuk dikonsumsi dalam waktu satu hari saja.
"Kalau Lalihi ini saya dapat juga jauh dari sini, dan itu tidak banyak, ini paling sehari habis,” kata Tagen.
Perubahan asupan makanan suku pedalaman Kalimantan Utara ini juga diamini oleh pendamping Suku Punan Batu yang merupakan kerabat dari Kesultanan Bulungan yakni Datu Karim.
Datu Karim melanjutkan tradisi hubungan sosial dan ekonomi antara Kesultanan Bulungan dengan Suku Punan Batu.
Sehari-hari ia juga menyediakan kebutuhan sembako termasuk beras untuk Suku Punan Batu.
"Terkadang kalau saya seminggu tidak turun, mereka sudah gelisah, karena ubi susah dicari di hutan, jadi mereka butuh beras untuk bertahan," kata Datu Karim.

Berdampak pada kesehatan?
Perubahan asupan makanan dan karbohidrat Suku Punan Batu menjadi perhatian dari Peneliti Genetika Populasi, Mochtar Riady Institute, Dr. Pradiptadjati Kusuma.
Ia telah melakukan riset genetika terhadap Suku Punan Batu sejak 2018 lalu, dan mengakui bahwa perubahan pola makanan tersebut berpotensi berdampak pada kesehatan Suku Punan Batu.
Menurutnya, suku lain yang mengalami transisi kehidupan, baik dari aspek ruang hidup maupun asupan makanan, maka peluang akan keterpaparan penyakit menjadi semakin besar.
"Kebanyakan transisi itu mengarah pada penyakit seperti diabetes dan penyakit metabolik lainnya dan itu merugikan. Hal-hal seperti itu tidak kita inginkan, karena hari ini gula mereka rendah, kolesterol mereka bagus," kata Dr. Pradiptadjati Kusuma.
"Kemungkinan saat ini mereka masih sehat karena aktivitas bergerak dan berpindah-pindah itu, tapi kalau suatu saat ada perubahan dalam aktivitas bisa jadi akan berdampak pada kesehatan," ujarnya menambahkan. (Maulana Ilhami Fawdi)
(*)
Berita tentang Seluk Beluk Suku Punan Batu
Jangan Lupa Like Fanpage Facebook TribunKaltara.com
Follow Twitter TribunKaltara.com
Follow Instagram tribun_kaltara
TikTok tribunkaltara.com
Follow Helo TribunKaltara.com
Subscribes YouTube Tribun Kaltara Official
Suku Punan Batu
makanan
ubi kariting
ubi
Lalihi
nasi
Sungai Sajau
hutan
pedalaman
Kalimantan Utara
TribunKaltara.com
Tak Hanya Cari Makan, Suku Punan Batu Andalkan Hutan untuk Pakaian hingga Alat Musik |
![]() |
---|
Berburu di Hutan: Seni Bertahan Hidup Suku Punan Batu di Belantara Kalimantan |
![]() |
---|
Dedikasi Datu Karim, Pewaris Tradisi Kesultanan Bulungan Dampingi Suku Punan Batu |
![]() |
---|
Siapa Suku Punan Batu? Mengenal Pemburu Peramu Terakhir di Kalimantan |
![]() |
---|
Suku Punan Batu Minta Hutan Dijaga: Kalau Tidak Ada Matilah Kami |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.