Jejak Islam di Kaltim
Batu Indra Giri, Penanda Hubungan Diplomatik Masuknya Islam di Paser, Kalimantan Timur
Abu Mansyuh atau Abu Mansyur sengaja membawa batu-batu ini saat pertama kali datang ke Kerajaan Sadurengas, Paser.
TRIBUNKALTARA.COM - Abu Mansyuh atau Abu Mansyur sengaja membawa batu-batu ini saat pertama kali datang ke Kerajaan Sadurengas, Paser.
Batu ini kemudian diletakkan di suatu tempat yang kini masuk wilayah Kecamatan Paser Belengkong, hingga sekarang batu-batu itu sendiri tak pernah pindah dari posisi awalnya.
Banyak kisah menarik di balik perjuangan para ulama saat melakukan dakwah di bumi Kalimantan.
Salah satunya Abu Mansyuh Indra Jaya atau juga biasa disebut Abu Mansyur dalam menyiarkan Islam di Kabupaten Paser, Kalimantan Timur.
Perjuangannya dalam menyebarkan agama turut menyumbangkan peninggalan yang menjadi bagian dari sejarah Islam di Kalimantan Timur.
Abu Mansyuh merupakan salah seorang mubaligh, sekaligus murid dari Sunan Giri.
Atas izin Sunan Giri dan Kesultanan Demak, beliau melakukan dakwah dan mensyiarkan Islam di Bumi Kalimantan, khususnya Kerajaan Sadurengas.
Baca juga: Penyebaran Islam di Paser Diawali oleh Abu Mansyuh, Murid Sunan Giri
Peninggalan yang sempat terpotret oleh tim Tribun Kaltim dari sepenggal sejarah tersebut, ialah sebuah batu yang kemudian dikenal dengan nama Batu Indra Giri.
Batu ini terletak kurang lebih 500 meter sebelah Tenggara dari Museum Sadurengas, Kecamatan Paser Balengkong, Kabupaten Paser, Kalimantan Timur.
Budayawan Paser, Aji Jamil mengungkapkan bahwa batu-batu tersebut dibawa Abu Mansyuh Indra Jaya.

Dan menjadi salah satu part dari perjuangan beliau saat pertama kali tiba di Tana paser, untuk menyebarkan Islam.
Batu ini sendiri dibawa Abu Mansyuh pada abad ke 15, ketika beliau pertama masuk ke Tana Paser beriringan dengan misi diplomatik.
“Tadinya untuk dipakai sebagai hubungan diplomatis. Membawa niat baik guna memberikan kesan untuk menghapuskan kenangan buruk pada masa Kerajaan Sadurengas,” kata Aji Jamil.
Sementara jenis dari beberapa buah batu ini belum terindentifikasi secara jelas.
Meski begitu, kondisi fisik batu ini dipastikan utuh dan terawat.
Tidak ada nampak terkesan kikisan dari batu tersebut, demikian dengan ukiran atau pahatan tulisan yang juga tidak nampak pada Batu Indra Giri tersebut.
Batu ini terletak berdampingan dengan sebuah lima mariam kuno. Tersimpan di bawah bangunan yang beratapkan kayu dominan berwarna cokelat, serta pagar senada.
Baca juga: Masjid Jami Adji Amir Hasanuddin, Warisan Sultan Kutai Saksi Perjalanan Syiar Islam di Kukar
Dalam budaya penyebaran Islam dari Kesultanan di Pulau Jawa, ketika terdapat utusan dakwah maka seorang murid akan diberi bekal sebagai simbol perkembangan dari persebaran Islam.
Konon, jika sebuah batu yang dibawa berdakwah diletakkan di suatu wilayah, maka nantinya sebuah kesultanan akan berdiri di wilayah tersebut.
“Demikian juga Sunan Giri ini, kalau muridnya melaksanakan tugas diberi bekal sebuah tanah atau batu. Dimana batu itu cocok maka disitulah diletakkan.
Jika batu itu diletakkan akan muncul suatu kerajaan atau kesultanan yang berhenti disitu,” terangnya.
Aji Jamil mengatakan, hingga saat ini, tidak ada yang mengusik keberadaan batu bersejarah ini.

“Dulu sepupu saya iseng, dikantongi salah satu Batu Indra Giri ini, akhirnya hampir disambar petir.
Sampai sekarang tidak ada yang mengutak atik batu itu, makanya batu itu tidak pernah berpindah,” paparnya.
Sementara lima meriam Paser yang terletak berdampingan dengan Batu Indra Giri ini menjadi situs cagar budaya benteng pertempuran Kesultanan Pasir.
Menjadi saksi bisu kebesaran Bumi Paser masa lampau di bidang kemiliteran.
Lima di antara meriam tersebut beberapa memiliki nama, ialah Sigentar Bumi dan Priuk Tana.
Terletak dengan posisi melintang sejajar, dengan balutan kain kuning yang menjadi warna khas kepercayaan Masyarakat Paser.
Berdasarkan cerita sejarah, Aji Jamil menyebut lima meriam ini datang secara gaib. Hingga kini, ia masih mencoba menelusuri terkait kebenaran dari cerita sejarah tersebut.
Baca juga: Masjid Shiratal Mustaqiem, Kisah Pendirian 4 Tiang dan Syiar Islam di Samarinda
“Kalau dalam bahasa Pasernya itu nyaro, artinya menemukan suatu benda yang tidak diketahui asal-usulnya dari mana,” imbuhnya.
Di satu sisi cerita sejarah lainnya, kala itu, ke lima meriam ini ditemukan oleh seorang pemburu. Kemudian seekor anjing dari pemilik sang pemburu menggonggong dan menemukan meriam tersebut.
Namun sekali lagi, belum dapat dipastikan secara detil asal muasal keberadaan lima meriam ini. (*)
Penulis : Ary Nindita Intan R S
Baca juga berita Tribun Kaltara menarik lainnya di Google News
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.