Opini

Bauran Kebijakan Pemerintah dan Bank Indonesia Atasi Intrusi Ringgit di Perbatasan

Berat sama dipikul ringan sama di jinjing. Kemegahan sistem pembayaran dilengkapi dengan munculnya Qris Tuntas.

|
HO
Dr. Margiyono, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Borneo Tarakan. 

Oleh: Dr. Margiyono, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Borneo Tarakan/Penulis Kebijakan Bank Indonesia

TRIBUNKALTARA.COM - Berat sama dipikul ringan sama di jinjing. Kemegahan sistem pembayaran dilengkapi dengan munculnya Qris Tuntas.

Di tengah hiruk pikuk itu terdapat banyak tantangan bukan hanya “blank spot” ketiadaan sinyal, tetapi juga intrusi mata uang asing di perbatasan.

Permasalahan sungguh kompleks. Karena itu, membutuhkan kerjasama yang solid semua pihak.

Sebelum ada penerbangan printis tahun 1980-an, masalah perbatasan belum mengemuka. Bahkan beberapa wilayah di pedalaman Kabupaten Bulungan seperti negeri dalam dongeng.

Ia ada, tetapi tertutup rimba tropis Kalimantan. Seiring adanya penerbangan perintis Merpati Airlines (MA) dan Mission Aviation Fellowshif (MAF) keterisolasian terbuka. Suplai barang dari Tarakan mulai lancar.

Sejak itu beberapa komoditas dari perbatasan mulai dinikmati dari beras krayan yang masyur hingga nanasnya. Pada saat yang sama suplai rupiah ke perbatasan kian lancar.

Pengalaman penulis saat kerja di penerbangan perintis menunjukan berpeti-peti Rupiah di kirim ke perbatasan.

Kini seluruh wilayah Kabupaten Bulungan telah menjadi daerah otonomi baru yaitu Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara). Pola pengiriman Rupiah ke perbatasan lewat pesawat sudah hampir setengah abad. Namun keberadaan mata uang asing belum bisa dihapuskan sama sekali.

Intrusi Ringgit terus terjadi. Meskipun begitu, kita tidak bisa serta-merta menyalahkan, jika tidak paham akar masalahnya. Betul bahwa, ini permasalahan yang sangat serius. Karena menyangkut kedaulatan.

Realitasnya memang sangat sulit. Kesulitan dalam mencari solusi, menggambarkan kesulitan aksesibilitas wilayah itu. Baik aksesibilitas; sosial dan ekonomi. Bukan hanya jarak yang jauh. Tetapi, juga pilihan untuk ke lokasi sangat terbatas.

Terlalu sedikitnya pilihan mencapai lokasi sering dituturkan oleh Tetua dan Tokoh yang penulis dengarkan ceritanya. Para pendahulu untuk sampai ke kota Kecamatan Malinau di Kabupaten Bulungan saja, harus ditempuh dengan jalan kaki berminggu-minggu.

Mereka menelusuri hutan belantara. Sepanjang jalan bukan hanya lebatnya flora. Tetapi juga tingginya tebing, derasnya sungai dan jeram. Belum lagi resiko binatang buas dan kondisi cuaca.

Bahkan beberapa dosen penulis mengalami hal itu. Dalam hal ini adalah Bapak Drs Niklas Mou (Alm) dan Pak Dr Marthin Balang. Beliau berdua berasal dari Krayan. Dalam kaitanya dengan intrusi ringgit kita bahas wilayah; Sebatik , Krayan dan Kayan Ulu.

Dari tiga wilayah itu, Sebatik adalah wilayah yang paling tinggi aksesibilitasnya. Pulau ini memiliki batas darat dengan Sabah Malaysia. Diantarai laut, Ia juga berhadapan langsung dengan kota dagang Tawau.

Saat ini Sebatik terbagi menjadi 5 kecamatan. Lima kecamatan itu adalah, Sebatik, Sebatik Timur, Sebatik Tengah, Sebatik Utara dan Sebatik Barat.
Alasan utama intrusi ringgit di Sebatik, karena pilihan rasional masyarakatnya dalam menjual hasil produksinya dihargai lebih tinggi.

Oleh karena jarak Sebatik dengan Tawau hanya 15 menit perjalanan speedboat. Sementara lokasi penjualan di Wilayah Kabupaten Nunukan jaraknya lebih jauh. Industrinya juga belum berkembang. Sehingga potensi nilai tambah yang diperoleh lebih rendah.

Selanjutnya wilayah Krayan. Saat ini memang jauh lebih maju.Terbagi menjadi 5 kecamatan yaitu: Krayan, Krayan Barat, Krayan Timur, Krayan Tengah, dan Krayan Selatan.

Untuk bisa sampai ke wilayah itu hanya dengan pesawat. Dari Kota Nunukan bisa ditempuh ± 50 menit penerbangan. Krayan dan Sebatik keduanya termasuk wilayah adiministarsi Kabupaten Nunukan.

Aksesibilitas Krayan jauh lebih sulit dibanding Sebatik. Suplai beberapa kebutuhan pokok pabrikasi hanya dikirim lewat pesawat dari Kota Nunukan atau Tarakan. Hubungan fungsional dengan Malaysia lebih bagus.

Karena itu komoditas perkebunan, peternakan, dan sebagian besar pertanian lebih banyak dijual ke Malaysia. Dampak dari itu, kepemilikan ringgit oleh masyarakat adalah sebuah realitas yang tidak bisa dihindari.

Kemudian yang ketiga adalah Kecamatan Kayan Hulu. Profilnya mirip Krayan. Bedanya Kayan Ulu berada di wilayah administrasi Kabupaten Malinau.

Masyakat di kecamatan ini juga sangat tergantung pada pola transaksi dengan Malaysia. Hal ini diakibatkan oleh jarak dan pilihan transportasi. Untuk bisa cepat sampai dengan hanya pesawat. Saat ini secara reguler dilayani Susi Air.

Dalam keterisolasiannya, masyarakat mencari solusi untuk tetap survive. Hal yang paling mungkin adalah melakukan transaksi ekonomi lintas-batas. Karena itu dalam konteks yang lain penulis menyebut keberadaan ringgit adalah sebagai devisa untuk transaksi harian.

Kondisi itu menggambarkan realitas ekonomi. Sementara hal itu tidak bisa di dipisahkan realitas akar budaya yang sama. Bahkan sangat mungkin memiliki hubungan kekerabatan yang sangat dekat.

Hubungan itu turut menentukan pola transaksi ekonomi. Dalam hal ini jual-beli hasil produksi. Betul bahwa ada beberapa produk dengan kapasitas tertentu dikirim ke wilayah perkotaan yang ada di Provinsi Kaltara.

Terutama ke kota Malinau, Nunukan dan Tarakan. Akan tetapi hal itu tidak mungkin mencapai skala ekonomi yang menguntungkan. Oleh karena jumlahnya sangat terbatas maka, beban biaya rata-rata transportasi sangat tinggi.

Tingginya biaya transportasi sangat terasa jika terjadi alasan emergency dari Kayan Hulu ke kota Malinau dibutuhkan biaya cater pesawat hingga Rp 21 juta. Karena itu beberapa hasil perkebunan sawit, peternakan kerbau, sapi dan lainnya hampir pasti dijual ke Malaysia.

Ekonomi Komunitas

Itulah alasan mengapa intrusi ringgit terus terjadi. Bahkan menjadi keniscayaan masyarakat di perbatasan Indonesia-malaysia. Kenyataan ketergantungan sosial ekonomi ini bisa disebut sebagai “ekonomi komunitas”.

Sebuah entitas ekonomi yang terikat oleh ketergantungan satu-sama lain. Secara lokasional ia, bisa berada dalam satu negara atau lebih. Dalam konteks ini ekonomi komunitas yang berada diperbatasan berlokasi diantara dua negara.

Meskipun berada di negara yang berbeda ia memiliki kemiripan. Baik dalam konteks komoditas dan budaya. Interaksi ekonomi komunitas itu kian menguat karena, jarak ke pusat aktifitas di Kaltara menghadapi banyak kendala.

Jarak yang terlalu jauh menyulitkan pola interaksi dan integrasi ekonomi. Dalam skala yang kecil ia akan dihadapkan pada tingginya biaya. Sementara Pemerintah juga dihadapkan pada keterbatasan sumberdaya. Termasuk mininnya anggaran belanja.

Intrusi ringgit dalam prespektif nasionalisme memang tidak bisa dibenarkan. Tetapi dalam konteks ekonomi komunitas adalah realitas sosial-ekonomi yang tidak bisa dihindari. Meskipun demikian harus tetap ada upaya maksimal untuk perkecil intrusi itu.

Jangka pendek secara konsisten BI sudah menyediakan Rupiah sesuai kebutuhan. Akan tetapi dalam jangka menengah dan panjang menjadi tanggung jawab bersama. Terutama pemerintah.

Karena pemerintahlah yang memiliki kewenangan yang besar melalui kebijakan fiskalnya. Atas dasar kewenangan itu maka, pembangunan infrastruktur sosial dan ekonomi di perbatasan adalah tanggungjawab Pemerintah.

Bukan hanya Pemerintah Kabupaten Malinau dan Nunukan. Akan tetapi juga Pemerintah Provinsi Kaltara dan Pemrintah Pusat. Urusan intrusi ringgit adalah urusan kedaulatan negara. Menyumbat intrusi ringgit berarti meneguhkan Rupiah. Karena, Rupiah adalah Harga Mati!

(*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

BERSAMA RAMADAN DI ERA DIGITAL

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved