Opini
Baharuddin Lopa, Satjipto Rahardjo dan Refleksi Penegakan Hukum
Penegakan hukum mengalami kemunduran yang sangat luar biasa, dalam banyak kasus hukum, kita dipertontonkan dengan sistem yang begitu “semrawut”.
Oleh : Sholihin Bone, SH., MH.
Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Samarinda
TRIBUNKALTARA.COM - Ada semacam “kegamangan” yang mengiris nurani kemanusiaan ketika melihat penegkan hukum beberapa tahun belakangan.
Penegakan hukum mengalami kemunduran yang sangat luar biasa, dalam banyak kasus hukum, kita dipertontonkan dengan sistem yang begitu “semrawut”.
Rententan persitiwa hukum selama yang selama ini terpampang kemudian melahirkan dua pertanyaan reflektif ?
Dua Pertanyaan Reflektif
Pertanyaan pertama adalah soal, Struktur hukum. apa yang membuat aktor-aktor penegak hukum menjadi sangat mudah dan berani dalam “mempermainkan” hukum ?
Bagi sebagian orang, mungkin pertanyaan ini adalah pertanyaan “receh dan sederhana”.
Namun bagi saya, pertanyaan ini penting dikemukakan dan diproduksi ulang untuk kembali merenungkan ideal-ideal berhukum dimasa depan.
Tentu, hipotesis-hipotesis akan banyak berkembang dan memunculkan banyak perdebatan untuk menjawab pertanyaan ini.
Mungkin akan ada yang berpendapat, bahwa peroalan penegakan hukum yang belum maksimal karena rendahnya pendapatan penegak hukum, sehingga ada oknum-oknum yang berani mempermainkan penegakan hukum untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga, hidup dan keluarganya.
Atau mungkin ada juga yang akan berpadangan bahwa belum maksimalnya penegakan hukum selama ini lebih disebabakan oleh berbagai kepentingan, terutama kepentingan politis yang menyandra aktor-aktor penegak hukum.
Selain kepentingan politis, tekanan vertical juga berimplikasi pada tersandranya aktor penegak hukum dilevel bawah.
Mungkin juga ada yang berpandangan bahwa etik dan moralitas tidak lagi bersemayam dalam suasana kebatinan oknum-oknum penegak hukum di Indoensia.
Atau dalam bahasa lain, akan ada yang berpandangan bahwa soal pola “hidup mewah” yang telah lama “menyelimuti” oknum-oknum penegak hukum di Indonesia.
Pola hidup mewah yang menjangkiti oknum-oknum penegak hukum itu kemudian membuat penegakan hukum “tergadai” dan kadang abai dalam menerjemahkan keadilan.
Berbagai spekulasi atas pertayaan-pertanyaan yang berkembang tentu mesti disikapi secara “jernih” dan arif oleh para penegak hukum di Indonesia.
Lazim dipahami, bahwa struktur hukum kemudian menjadi aktor penting bekerjanya hukum di Indonesia.
Oleh karena itu, apapun kondisi, persitiwa dan suasana kebatinan, yang dialami oleh penegak hukum di Indonesia dalam konteks penegakan hukum tidak boleh tercerabut dari keadilan dan nurani kemanusiaan.
Dalam satu kisah saya teringat dengan salah satu “pendekar hukum” Indonesia yang dikenal sangat berani dan tak kenal kompromi dalam konteks penegakan hukum, tokoh itu adalah almarhum Baharuddin Lopa sang Pendekar hukum dari Tanah Mandar.
Bapak Lopa adalah salah satu sosok yang memberikan keteladanan dalam wilayah penegakan hukum di Indonesia, sosok sederhana nan berani itu dikenal tegas berhadapan dengan siapapun.
Dalam kiprahnya sebagai penegak hukum, tak ada rasa takut ketika berhadapan dengan berbagai tokoh penguasa dan pengusaha yang berman-main dengan uang negara.
Tak surut dalam berbagai tekanan, ancaman dan intervensi dari siapapun.
Selain tegas dan berani, sosok Baharuddin Lopa juga memberikan keteladanan bagi kita semua tentang nilai-nilai kesederhanaan yang dipraktekan dalam kesehariannya dan lingkungan keluarganya.
Anak-anak Bapak Lopa tidak dimanja dengan berbagai fasilitas yang melekat pada jabatannya, bahkan berbagai bentuk hadiah kerap dia tolak demi prinsip dan integritas.
Saya pikir, nilai-nilai keberanian dan kesederhanaan Bapak Lopa dalam konteks penegakan hukum patut kembali direnungkan dan ditejemahkan dalam berbagai situasi dan kondisi penegakan hukum.
Penegakan hukum selama ini telah terluka, lukanya amat sangat parah oleh berbagai tindakan dari oknum-oknum yang kerap tersandra dengan “kemewahan” dan berbagai kepentingan politik dan kekuasaan yang telah mereduksi nilai keadilan–nilai keadilan itu sendiri.
Semuanya berpulang kepada kita semua, apakah kita ingin membiarkan luka yang teramat parah dalam penegakan hukum kita.
Ataukah kita harus berikhtiar unuk membalut luka yang telah sangat parah itu, dengan nilai-nilai keberanian dan kesederhanaan yang telah ditanamkan dam dicontohkan oleh Bapak Lopa.
Pertanyaan reflektif kedua adalah, soal apa yang harus segera dilakukan untuk mengembalikan penegakan hukum yang mecerminkan keadilan, keadilan yang berpijak pada nurani dan nilai inti dari kemanusiaan?
Untuk menjawab pertanyaan ini, saya teringat dengan satu pemikiran dari seorang begawan hukum yang bernama Satjipto Rahardjo.
Satjipto Rahardjo telah memberikan pesan monumental dalam konteks penegakan hukum di Indoensia.
“Hukum untuk manusia, bukan manusia untuk hukum”. Dalam konteks ini, maka penekanan yang perlu direnungkan adalah, bahwa hukum itu harus melayani manusia, bukan sebaliknya.
Artinya, hukum dibuat untuk mendukung kebutuhan, kebahagiaan, dan kesejahteraan manusia. Jika hukum menjadi terlalu formalistis dan mengabaikan aspek kemanusiaan, maka hukum kehilangan esensinya.
Hukum bertugas melayani masyarakat, bukan sebaliknya. Kualitas suatu hukum ditentukan dengan kemampuannya untuk mengabdi pada kesejahteraan manusia
Pesan monumental tersebut penting kembali direnungkan dalam imajinasi setiap aktor-aktor penegak hukum.
Sudah waktunya kita mengevaluasi penegakan hukum yang selama ini yang terpentas dalam sitauasi kebangsaan ini.
Apakah selama ini, hukum telah betul-betul melayani manusia Indonesia dengan ideal.
Ataukah selama ini, hukum hanya melayani kepentingan dan golongan tertentu, apakah selama ini cara berhukum kita masih tunduk pada “pesanan” dan kekuatan tertentu.
Apakah selama ini, penegakan hukum masih terkungkung pada “kekakuan”, yang belum maksimal menggali nilai-nilai keadilan, kearifan dan nilai hukum yang hidup di dalam masyarakat.
Tentunya, ini harus dijawab secara jujur dan reflektif oleh kita semua untuk menjaga martabat dan kewibawaan hukum dimasa sekarang dan di masa-masa selanjutnya.
Tentu, kita tidak berharap bahwa penegakan hukum pada bangsa ini, hanya sebagai “lipstick” belaka, yang dibahas dalam ruang-ruang mewah nan megah, lewat pidato-pidato, jumpa pers, lewat retorika-retorika yang tersususun rapi untuk menina bobokan rakyat, retorika yang dibungkus dengan berbagai kepentingan yang “menyandera”.
Mari menjawab kegelisahan ini dengan kontemplasi yang mendalam, mari bertanya ke dalam batin secara jujur akan kemana arah penegakan hukum ini dibawa ?
Titik Simpul
Pada akhirnya, luka yang teramat parah dalam konteks penegakan hukum ini beberapa tahun belakangan ini, harus dibalut dan disembuhkan dengan keberanian, progresif dan membutuhkan keseriusan, agar luka itu tidak menganga, membesar dan “berbau busuk” lalu menggerogoti situasi kebangsaan yang telah kita rawat selama ini.
Merefleksi kembali dan menerjemahkan pemikiran dan keteladanan dari dua Begawan hukum Indonesia, Baharuddin Lopa dan Satjipto Rahardjo menjadi penting untuk mejaga marwah penegakan hukum di Indonesia.
(*)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/kaltara/foto/bank/originals/Sholihin-Bone-0712024.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.