Opini
Menciptakan Ruang Aman dari Kekerasan dan Pelecehan Seksual di Lingkungan Kampus, Suatu Refleksi
Hampir setiap saat, publik dikejutkan dengan maraknya pemberitaan kekerasan seksual di lingkungan pendidikan tinggi.
Oleh : Sholihin Bone
Pemerhati HAM dan Demokrasi
Anggota Satgas PPKS Periode 2022-2024 Universitas Mulawarman Samarinda
TRIBUNKALTARA.COM - Hampir setiap saat, publik dikejutkan dengan maraknya pemberitaan kekerasan seksual di lingkungan pendidikan tinggi. Pelakunya kerap berasal dari Dosen ataupun dari mahasiswa.
Fenomena ini ibarat jamur di musim penghujan, membuat kampus menjadi rawan dan tidak aman dari praktek-praktek kekerasan dan pelecehan seksual.
Dalam upaya merespons dan menyelesaikan berbagai kasus kekerasan dan pelecehan seksual dilingkungan pendidikan tinggi, negara hadir melalui Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.
Kemudian pada Tahun 2024, Negara kembali hadir untuk menjawab perkembangan kebutuhan penanganan kekerasan dan pelecehan seskual dengan melahirkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 55 tahun 2024 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Perguruan Tinggi. Permen terbaru ini kemudian mencabut Permen No 30 Tahun 2021.
Inti dari Permen No 55 Tahun 2024 adalah lebih memperluas cakupan peraturan dari hanya kekerasan seksual menjadi semua bentuk kekerasan di lingkungan perguruan tinggi.
Ikhtiar ini kemudian hendak menunjukkan komitmen pemerintah untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan.
Lahirnya Permen No 30 Tahun 2021 kemudian mewajibkan agar setiap kampus di Indonesia membentuk Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual sebagai ikhtiar menyelesaikan soal-soal pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan kampus.
Disusul Permen No 55 Tahun 2024 yang lebih memperluas cakupan dan lingkup kekerasan ini kemudian menjadi penawar dari dahaga berkepanjangan tentang ikhtiar menegakkan kemuliaan dan martabat dari civitas akademika terkhusus bagi perempuan yang selama ini sangat rawan dan rentan menjadi korban kekerasan dan pelecehan seksual.
Refleksi, Memperkuat Kesepahaman Bersama
Keberhasilan memberantas kekerasan seksual harus dilaksanakan secara bersama-sama dengan upaya membangun kesepahaman bersama.
Tanpa kesepahaman bersama, mustahil pencegahan dan penanganan kekerasan seksual dapat maksimal dilakukan.
Dalam konteks ini, Pencegahan dan Penanganan kekerasan seksual tidak hanya dilakukan oleh Satgas.
Namun, upaya tersebut harus dilakukan secara bersama-sama dalam lingkungan pendidikan tinggi.
Dalam pandangan sederhana ini, terdapat beberapa langkah yang mesti dilakukan secara kolaboratif dan berkelanjutan.
Penulis berkeyakinan, bahwa langkah-langkah ini telah dilakukan oleh banyak kampus di Indonesia.
Namun, pandangan ini, hanya ingin kembali merefleksi tentang ingatan-ingatan dan langkah-langkah yang harus terus dipelihara dan diimplementasikan secara terstruktur dan berkelanjutan.
Langkah pertama adalah, bagaimana menumbuhkan kesadaran bersama dan kepedulian akan pentingnya menciptakan suasana aman dari kekerasan dan pelecehan seksual.
Untuk menumbuhkan dan memantik kesadaran bersama, dapat dilakukan melalui sosialisasi secara massif dan kontinyu tentang pendidikan dan materi-materi yang berkaitan dengan jenis-jenis kekerasan seksual, bagaimana mekanisme pelaporan, perlindungan serta mekanisme sanksi bagi pelaku kekerasan seksual.
Sosialisasi ini, harus dilakukan dengan berbagai cara-cara keratif. Seperti Kampanye via media sosial, membuat video-video edukasi, buku saku, membuat poster atau penanda-penanda lain yang terbuat dari papan ataukah besi yang tahan lama dan diletakkan ditiap-tiap tempat seperti di tiap-tiap fakultas, di perpsutakaan, di rektorat dan ditempat-tempat lain yang potensial.
Pada intinya adalah, bagaimana setiap warga kampus betul-betul memahami tentang konsep, dan segala jenis yang tergolong kedalam praktek-praktek kekerasan dan pelecehan seksual.
Seturut itu, juga penting bagi warga kampus untuk memahami pengaduan dan perlindungan bagi para korban.
Langkah kedua adalah, membiasakan budaya ataukah prilaku yang mendukung terciptanya situasi aman bagi seluruh civitas akademika. Misal, terkait pembimbingan yang dilakukan oleh seorang Dosen.
Pembimbingan dapat dilakukan hanya diruang-ruang publik, atau tempat yang tidak berpotensi menimbulkan kekerasan dan pelecehan seksual.
Problematika selama ini, yang kerap terjadi dan mendukung terjadinya kekerasan dan pelecehan seksual adalah, pembimbingan kerap dilakukan ditempat-tempat yang privat seperti rumah dan tempat-tempat lainnya.
Pola –pola pembimbingan yang selama ini yang sangat tertutup, menjadi benih-benih terjadinya kekerasan dan pelecehan seksual.
Langkah ketiga adalah, ikhtiar meyakinkan kepada segenap civitas akademika untuk berani berbicara (speak up), jika mengalami, mengetahui atas dugaan terjadinya pelecehan dan kekerasan seksual.
Dalam banyak kasus, terkadang korban lebih memilih diam karena adanya relasi kuasa yang sangat kuat antar Dosen atau pejabat dan kepada mahasiswa dilingkungan pendidikan tinggi. Potensi ini yang membuat mahasiswa cenderung diam, takut, kahwatir, dan setumpuk kegelisahan karena memikirkan masa depan kuliahnya.
Maka, upaya meyakinkan para seluruh civitas akademika untuk berani melakukan pelaporan harus terus dikampanyekan.
Selain itu, penting untuk meciptakan situasi dan budaya anti victim blaming.
Salah satu persoalan penting yang kerap terjadi pada korban kekerasan dan pelecehan seksual adalah victim blaming.
Victim blaming adalah sikap yang kerap terjadi ditengah-tengah masyarakat yang kadang menyalahkan korban.
Sikap menyalahkan itu, bisa dilihat dari ungkapan-ungkapan negatif yang diterima oleh korban.
Semisal, mengapa dia tidak melawan, mengapa dia tidak berteriak. Padahal dalam banyak kasus kekerasan dan pelecehan seksual, itu terjadi karena besarnya relasi kuasa yang kadang tidak dapat disangkal atau dihindari oleh Korban.
Singkatnya, dalam memadang posisi korban kekerasan dan pelecehan sekual mesti dilihat secara lebih arif dengan memperhatikan kepentingan korban, bukan malah menghakimi.
Pola dan budaya anti victim blaming harus terus disosialisasikan ditengah-tengah kehidupan masyarakat, terkhusus di lingkungan kampus.
Langkah keempat adalah, di tiap-tiap Universitas perlu membuat semacam kebijakan, peraturan dan kode etik kampus yang sejalan dengan isi dari Permen No 55 Tahun 2024.
Peraturan Internal kampus tersebut mesti diarahkan pada bagaimana memperkuat dan membangun kehidupan kampus yang dapat menciptakan ruang aman bagi seluruh civitas akademika.
Selajutnya, Peraturan ini harus terus disosialisasikan dan ditegakkan secara konsisten kepada segenap civitas akademika.
Langkah kelima adalah, membangun dan memperkuat kolaborasi dengan seluruh organ kampus. seperti BEM, DPM, dan Unit-unit kegiatan mahasiswa dalam ikhtiar pencegahan dan penanganan kekerasan seksual.
Seturut itu, membangun dialog lintas organisasi dan lintas kampus juga penting dilakukan untuk menumbuhkan kepedulian dan kesadaran bersama tentang pentingnya menghadirkan ruang aman dari kekerasan dan pelecehan seksual di lingkungan pendidikan tinggi.
Pada wilayah lain, penting juga bagaimana menanamkan dalam diri setiap civitas akademika untuk lebih peduli dan responsif dalam menyikapi soal-soal kekerasan dan pelecehan seksual.
Pada akhirnya, keberhasilan pencegahan dan penganan kekerasan seksual dilingkungan kampus adalah tanggung jawab bersama dengan memperkuat kesepahaman dan jalinan kerjasama yang kuat antar seluruh civitas akademika.
Terjalinnya kesepahaman bersama akan bermuara pada tegaknya kemuliaan dan martabat setiap warga kampus.
(*)
Baca Berita Terkini Tribun Kaltara di Google News
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.