Berita Tana Tidung Terkini

Karakter Guru dan Pola Asuh Kunci Terwujudnya Sekolah Ramah Anak: Tegakan Disiplin Bukan Hukuman

APPHA menegaskan penerapan konsep SRA tidak hanya berfokus pada peserta didik, tapi perubahan pola pikir dan karakter para pendidik.

Penulis: Rismayanti | Editor: M Purnomo Susanto
TRIBUNKALTARA.COM/ ISTIMEWA
ILUSTRASI - Aktifitas di sekolah.(ATS). 

TRIBUNKALTARA.COM, TANA TIDUNG -Ketua Asosiasi Pendidik Berperspektif Hak Anak (APPHA), Bekti Prastyani, menegaskan penerapan konsep Sekolah Ramah Anak (SRA) tidak hanya berfokus pada peserta didik, melainkan juga pada perubahan pola pikir dan karakter para pendidik.

Hal tersebut ia sampaikan usai menjadi narasumber dalam kegiatan Sosialisasi Sekolah Ramah Anak (SRA) dan Implementasi Unit Kesehatan Sekolah (UKS) yang digelar Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kabupaten Tana Tidung, Senin (20/10/2025).

“Kami berdiskusi dengan para pendidik di Kabupaten Tana Tidung tentang bagaimana memandang anak bukan hanya sebagai sosok kecil, tetapi sebagai manusia yang wajib kita penuhi, kita jaga, dan kita lindungi hak-haknya,” ujar Bekti Prastyani kepada TribunKaltara.com.

Bekti Prastyani menjelaskan, konsep SRA terdiri dari tiga pilar utama yaitu guru, orang tua, dan siswa, ketiganya harus terlibat aktif dan terlatih agar program berjalan efektif.

Baca juga: Asisten 1 Malinau Beri Penjelasan Konsep Sekolah Ramah Anak

Guru perlu memahami konvensi anak dan manajemen kasus, sementara orang tua diharapkan menerapkan pola asuh yang berpihak pada anak.

Anak pun dibina agar mampu menjadi pelopor dan pelapor, serta membangun komunikasi diri melalui dukungan psikologis.

“Satuan pendidikan tidak serta-merta langsung bisa menerapkan SRA setelah sosialisasi ini. Prosesnya panjang karena harus dibangun bersama antara guru, orang tua, dan anak,” tambah Bekti.

Menurutnya, salah satu fokus dalam penerapan SRA adalah bagaimana proses pendisiplinan dilakukan tanpa kekerasan dan tanpa menimbulkan rasa takut pada anak.

Pendekatan yang digunakan disebut disiplin berperspektif hak anak, yakni membangun kesadaran anak melalui konsekuensi logis, bukan hukuman.

“Disiplin bukan berarti anak tidak boleh diberi sanksi, tetapi bentuknya harus sesuai dengan kebutuhan anak. Kita membangun logika berpikir anak, bukan sekadar menanamkan rasa jera,” jelasnya.

Bekti juga menekankan bahwa membangun sekolah ramah anak berarti membangun karakter semua pihak yang terlibat, terutama guru.

“Karakter guru itu yang harus dibentuk terlebih dahulu. Bukan berarti guru tidak berkarakter, tapi kadang ada pengaruh dari pola asuh lama yang masih menggunakan kekerasan dan perendahan martabat. Itu yang tidak sejalan lagi dengan prinsip sekolah ramah anak,” tuturnya.

Baca juga: Pemkab Malinau Deklarasikan Penerapan Sekolah Ramah Anak, Begini Penjelasan Bupati Wempi

Ia juga mengakui, tantangan terbesar dalam menerapkan SRA justru datang dari diri orang dewasa yang belum mampu menurunkan ego dan masih menggunakan pola pendidikan lama berbasis hukuman.

Namun, ia mengaku optimistis melihat antusiasme para guru di Tana Tidung yang mulai memahami pendekatan ramah anak.

“Tadi ada satu guru yang mulai memahami konsep ini. Saat bermain peran, ia membiarkan murid yang terlambat duduk dulu tanpa dimarahi di depan teman-temannya. Setelah kelas usai, baru diajak bicara. Itu kemajuan yang luar biasa,” pungkasnya.

(*)

Penulis : Rismayanti 

Sumber: Tribun Kaltara
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved