Berita Tarakan Terkini

Kisah Syawal, Perantau Asal Surabaya Bertaruh Hidup di Tarakan, Kadang Tak Dibayar Saat Ma'bettang

Kisah Syawal, perantau asal Surabaya bertaruh hidup di Tarakan, kadang tak dibayar saat ma'bettang.

Penulis: Andi Pausiah | Editor: Amiruddin
TRIBUNKALTARA.COM/ ANDI PAUSIAH
Keluarga Syawal saat berada di Shelter Dinsos dan Pemberdayaan Kota Tarakan, Kamis (8/4/2021). TRIBUNKALTARA.COM/ ANDI PAUSIAH 

TRIBUNKALTARA.COM, TARAKAN - Kisah Syawal, perantau asal Surabaya bertaruh hidup di Tarakan, kadang tak dibayar saat ma'bettang.

Pandemi Covid-19 memupus harapan keluarga Pak Syawal bersama Martina istri dan keempat anaknya harus ia boyong kembali pulang ke kampung halaman di Surabaya demi mencari penghidupan lebih baik.

Di tanah rantau, ia tak mendapatkan harapan untuk bisa hidup layak. Kerasnya hidup ditambah pekerjaannya yang hanya seorang pa'bettang (perakit tali rumput laut ) tak mencukupi untuk menghidup ia bersama keluarganya.

Selama bekerja sebagai pa'bettang di Kelurahan Pantai Amal, dalam sebulan hanya bisa membuat lima tali rumput laut.

Satu tali hanya dihargai Rp 9 ribu untuk ukuran yang bisa mencapai kisaran 15 meter panjangnya. Biasanya ia dijatah hingga lima tali untuk dirakit.

Baca juga: Wali Kota Tarakan dr Khairul Apresiasi Pencapaian RUPS Bankaltimtara

Baca juga: Tahun Ini Akhirnya Bisa Salat Tarawih Bersama, Wali Kota Tarakan dr Khairul Imbau Tetap Jaga Prokes

Baca juga: Tekan Angka Kelahiran, 200 Orang di Tarakan Bersedia Pasang Alat Kontrasepsi Jangka Panjang

"Kalau harga rumput laut turun biasa dikasih Rp 8 ribu. Kalau harga rumput laut naik, biasanya dikasih Rp 9 ribu," sebut pria berumur 40 tahun ini.

Jika dikalkulasikan ia hanya mendapatkan penghasilan sekitar Rp 45 ribu. Angka Rp 45 ribu angka ini tentu tidaklah cukup untuk menutupi kebutuhan hidup. Bahkan ia mengakui biasa jasanya dibayar dan tidak dibayar.

"Uang ma'bettang kadang dibayar, kadang juga tidak dibayar kasian," keluhnya.

Empat anaknya masih kecil. Yang tertua, Rina berumur sekitar 15 tahun. Lalu anak kedua, Endu, berumur 11 tahun. Anak ketiga ada Fitrah, berumur lima tahun.

"Dan yang terakhir, Siti Zubaidah masih dua tahun. Dia lagi tidur," urai Syawal.

Mirisnya, anak tertua tak pernah mengenyam pendidikan sama sekali. "Sama sekali tidak pernah sekolah. Rencananya mau disekolahkan paket di Surabaya kalau sudah pulang ke sana," ungkap Syawal.

Syawal mengakui bukannya tidak ingin menyekolahkan sang anak. Tapi biaya hidup saja susah. "Anak saya dasarnya ingin sekali sekolah namun apa bisa dikata, tak ada biaya," keluhnya.

Dengan keputusan berat, ia bersama keluarga harus meniggalkan Kota Tarakan dan rencananya besok pagi akan terbang menuju Surabaya dengan pesawat Lion Air yang disiapkan Dinsos Tarakan bekerja sama dengan Baznas Tarakan.

Keputusan terakhir harus ia ambil setelah mendapatkan panggilan telepon dari sang Ibunda di Surabaya untuk segera kembali ke kampung halaman. Dari informasi sang ibunda juga ia bersama sang suami meminta bantuan ke Dinsos Tarakan.

Ia bersyukur bak gayung bersambut, dari pihak Dinas Sosial merespons keinginannya agar bisa difasilitasi pulang ke kampung halaman. Sampai akhirnya ia berada di Shelter Dinsos selama tiga hari ini. Bertepatan pula, masa kontrak rumah yang ia tinggali saat ini di RT 6 Kelurahan Pantai Amal sudah habis.

Untuk kembali menyambung kontrak rumah, ia harus merogoh Rp 500 ribu. Namun sekarang ini, usaha rumput laut begitu lesu. Tak ada yang memakai jasanya lagi untuk merakit benang rumput laut.

Syawal juga bercerita sebelum menetap di Tarakan, ia pernah tinggal di Nunukan. Pada tahun 1995, ia sudah ke Malaysia untuk berdagang, membuka usaha sembako kecil-kecilan.

Baca juga: Sempat Viral Eks Kasat Resnarkoba Nyabu di Mobil, hingga Polisi di Tarakan Jadi Kurir Narkoba

Baca juga: 3 Jam Galang Dana untuk Korban Banjir Bandang NTT, Warga & Mahasiswa di Tarakan Kumpulkan Rp 48 Juta

Baca juga: Andalkan Pasokan dari Luar Kaltara, Harga Cabai di Tarakan Sempat Tembus Rp 150 Ribu Perkilo

Namun lagi-lagi keberuntungan tak berpihak kepadanya. Terpaksa ia harus merantau ke Nunukan. Di Nunukan ia bekerja sebagai pekebun.

"Ada garap pisang dan ubi. Hasilnya sedikit tapi bisa dijual untuk beli lauk pauk," kenangnya. Karena kembali melihat tak ada peluang, Ia akhirnya sampai di Tarakan dan berakhir sebagai pa'bettang.

Keputusannya sudah bulat. Jika tak ada halangan, besok ia akan meninggalkan Kota Tarakan untuk memulai penghidupan baru di Surabaya, kampung mertua. Ia berencana nantinya di Surabaya akan memulai usaha bertani menggarap sawah dan berkebun menggarap pohon cokelat di sana.

"Sebenarnya hari ini. Tapi gak ada pesawat. Jadi besok berangkat pagi. Kami disuruh swab antigen juga. Alhamduliah di sini kami ditampung dikasih makan. Terima kasih untuk semua yang sudah membantu kami. Untuk Dinsos, untuk Baznas," pungkasnya.

(*)

Penulis: Andi Pausiah

Jangan Lupa Like Fanpage Facebook TribunKaltara.com

Follow Twitter TribunKaltara.com

Follow Instagram tribun_kaltara

Subscribes YouTube Tribun Kaltara Official

Sumber: Tribun Kaltara
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved