Berita Tarakan Terkini
Saksi Ahli Pidana Mumaddah Sebut Iwan Setiawan, Bisa Dinyatakan Tak Bersalah Jika Ada Bukti Fakta
Dua saksi ahli dihadirkan dari pihak Iwan Setiawan, terkait sidang lanjutan atas tuduhan pencemaran nama baik dan fitnah terhadap Gubernur Kaltara.
Penulis: Andi Pausiah | Editor: Junisah
TRIBUNKALTARA.COM, TARAKAN - Dua saksi ahli dihadirkan dari pihak Iwan Setiawan, terkait sidang lanjutan atas tuduhan pencemaran nama baik dan fitnah terhadap Gubernur Kalimantan Utara (Kaltara) periode 2016-2021, Irianto Lambrie.
Sidang itu merupakan sidang lanjutan yang digelar Selasa (15/6/2021) lalu oleh Pengadilan Negeri (PN) Tanjung Selor. Dua saksi ahli yang dihadirkan yakni ahli bahasa dan ahli pidana.
Salah seorang saksi ahli, yakni ahli pidana, Mumaddadah hadir dalam sidang tersebut.
"Saya hanya diminta keterangan ahli sesuai keahlian saya," ungkap Mumaddadah.
Adapun yang ia sampaikan dalam persidangan, kejahatan terhadap kehormatan itu hanya diatur dalam KUHP. Meskipun lanjutnya dalam UU ITE disebutkan Pasal 27 ayat 3 dalam UU Nomor 11 Tahun 2008.
Baca juga: Soal Bertemu Iwan Setiawan di Tarakan, Eks Gubernur Kaltara Irianto Lambrie Beri Keterangan Berbeda
Baca juga: Mantan Gubernur Kaltara Irianto Lambrie jadi Saksi Korban, Ini Respons Terdakwa Iwan Setiawan
" Tapi di penjelasannya di perubahannya UU Nomor 19 tahun 2016, menjelaskan pasal 27 ayat 3, merujuk kepada KUHP.
Artinya segala pencemaran nama baik yang ada di UU ITE kembali ke KUHP," beber Mumaddadah.
Lebih lanjut dikatakannya, melihat kasus posisi yang ada, yang ingin ia ajukan pertanyaan yakni apakah perbuatan ini ditujukan kepada pribadi seorang Irianto atau pribadi dengan jabatannya atau jabatannya sebagai penguasa. "Ada tiga macam itu. Kalau dia misalkan pribadinya, ini bicara pasal di 310, 311 terkait pencemaran nama baik dan fitnah," ujarnya.
Baca juga: Mantan Gubernur Kaltara dan Wakil Gubernur Kaltara Hadiri Sidang Dirut PDAM Tarakan Iwan Setiawan
Adapun pembeda Pasal 310 atau 311 yang menyerang pribadi orang umum menyebutkan nama orang pribadi, menudyhkan sesuatu atau fitnah.
Kemudian jika bicara dia sebagai seorang pejabat, lanjut Mumaddadah, karena kasus posisinya melekat di jabatannya, harusnya dijunctokan juga ke pasal 316. Ia mencontohkan bahasa, kepada pribadi pejabat yang melekat jabatannya yakni "Bupati tukang mabuk", "Bupati tukang kawin".
" Habis itu, kalau dia misalkan kekuasaannya, maka itu harusnya di Bab ke-8, terkait kejahatan terhadap kekuasaan di pasal 207. Contoh pasal 207, Gubernur korupsi, Gubernur komunis, ini hanya contoh," lanjutnya.

Melihat dokumen yang diterima dan setelah membacanya, menurut hemat dirinya, postingan Iwan Setiawan bukanlah mengarah kepada pribadi Irianto Lambrie.
"Lebih kepada kritik karena kebijakan. Makanya kalau misalkan pun ada kesalahan dalam postingan itu harusnya jaksa tidak mendakwa di pasal 27, tapi lebih ke KUHP-nya. Karena apa, karena kekuasaannya atau kebijakannya. Jadi pembedanya itu, kalau 316 lebih kepada pribadinya, orangnya, kalau di 207 lebih ke kekuasaannya, badan umumnya," tegas Mumaddadah.
Lebih lanjut ia mengatakan, jika semisalnya Iwan Setiawan dianggap bersalah, pasal dikenakan yakni 207.
Karena kekuasaan kewenangan yang disampaikan diposting tergugat.
"Kalau saya baca secara data lebih kepada kritik sebenarnya," ungkap Mumaddadah.
Baca juga: Kuasa Hukum Iwan Setiawan Sebut Eks Wagub Kaltara Udin Hianggio Siap Hadir jadi Saksi di Persidangan
Lebih lanjut ia menjelaskan soal KUHP pasal 310 dan 311 isinya berbeda.
Pada pasal 310 ayat 1 itu menjelaskan tentang menista secara lisan. "Kalau 310 ayat 2, menista dengan lisan. Kalau di 311, itu fitnah," ujarnya.
Dalam postingan yang dituntut itu, lebih jauh Mumaddadah mengungkap, selama Iwan Setiawan bisa membuktikan dan sesuai fakta, Iwan Setiawan tidak akan dikenakan atau dimintakan pertanggungjawaban pidana seperti dijelaskan pasal 311 terkait fitnah.
Lebih lanjut ia mengatakan, pelapor mengakui semua bukti itu berdasarkan penasehat hukum dari Iwan Setiawan yang disampaikan ke pihaknya.
" Saya tidak ikuti keseluruhan secara langsung, saya sempat ditanyakan bagaimana ahli pidana semisal saksi sebelumnya yang dihadirkan oleh jaksa mengakui semua.Itu saya bilang, selama bisa dibuktikan di pasal 311 itu maka dia bisa dikatakan tidak memfitnah. Artinya apa yang disampaikan itu benar adanya," tegas Mumaddadah.
Ia melanjutkan, misalnya pada kasus anak Irianto Lambrie sebagai Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP).
"Tim TGUPP ada SK-nya, dapatkan anggaran dari daerah. Kemudian postingan kedua terkait impor pejabat dari Kaltim, itu diakui juga. Ketiga berkaitan besaran anggaran kehumasan ketimbang sektor pelayanan publik. Itu diakui juga. Maka sekali lagi, selama bisa dibuktikan di pasal 311 itu maka dia bisa dikatakan tidak memfitnah," jelas Mumaddadah.
Lebih jauh ia mengungkapkan pada dasarnya setiap orang berhak menyampaikan pendapat di muka umum sudah dijamin juga dengan UUD pasal 28 E.
"Itu UUD, ada juga UU Nomor 9 tahun 1998. Memang dalam kritik yang tidak boleh itu jika mencela, mengeluarkan kata kasar hewan. Lalu bahasa misalnya bersinonim misalnya PSK. Bahasa yang dianggap mencela. Makanya 310 itu ada," urainya.
Dan yang paling harus dipahami adalah hukum pidana ada namanya asas legalitas. Asas legalitas dalam perkembangan hukum pidana memiliki empat prinsip. Pertama lex scripta, kedua lex certa, ketiga lex stricta,dan keempat lex praevia.
Lex scripta artinya hukum pidana tersebut harus tertulis. Kemudian lex certa, rumusan delik pidana harus jelas tegas tidak boleh ada mengalami ambigu atau ketidakjelasan.
Baca juga: Jaksa Penuntut Umum Tolak Eskepsi Iwan Setiawan Terdakwa Kasus Pencemaran Nama Baik Irianto Lambrie
"Misalnya samar-samar, abu-abu, harus tegas. Artinya rumusan pidana harus dimaknai tegas. Tidak bisa ditafsirkan secara analogi," jelasnya.
Lalh lex praevia, yang artinya hukum pidana tidak dapat diberlakuman surut.
Lebih jauh menyoal pasal 207 dalam kUHP, bahwa mengapa harus mengalami perubahan di UU Nomor 19 Tahun 2016, karena banyaknya kasus serupa dan mengalami kelenturan penafsiran.
"Itu tadi saking banyaknya kita lihat kasus seperti Prita, kasusnya terakhir Baiq Nuril, ini kan ada leks certa, mengalami kelenturan penafsiran sehingga banyak oknum penguasa yang mudah dengan mudahnya menjerat seseorang dengan UU ini," urainya.
Sehingga dalam hal ini lanjut Mumaddadah, ia juga dalam proses persidangan kemarin mengingatkan kepada majelis hakim, bahwa pasal 27 ayat 3 dalam penjelasannya di UU Nomor 19 Tahun 2016 itu merujuk lagi kembali kepada perbuatan pencemaran nama baik yang ada di KUHP.
"Artinya berlaku bab 18 tentang kejahatan terhadap kehormatan diatur dari pasal 310-321. Itu masih berlaku. Artinya rujukan pasal 207 itu masih kembali ke KUHP. Yang diatur dalam pasal 207 itu sarananya. Bagaimana perbuatan itu dilakukan. Perbuatan dilaukan melalui media. Tapi perbuatan pokok dikembalikan ke KUHP," tegasnya.
Masih menyoal Iwan Setiawan jika kritik dianggap salah, harusnya bukan pada kasus pribadi melainkan dikenakan pasal 207 yang tepat di dalam KUHP.
"Karena kejahatan terhadap kekuasaan. Bukan pencemaran nama baik di ITE, karena yang diserang kebijakan bukan pribadi. Jadi memang saya ingatkan dalam ruang sidang untuk membaca teks pasal itu tidak hanya tekstual saja. Tapi lebih memahami kenapa ini ada," pungkasnya.
(*)
Penulis: Andi Pausiah