Berita Tarakan Terkini
PROFIL Yahya Ahmad Zein, Guru Besar Termuda Universitas Borneo Tarakan, Jabat Dekan Fakultas Hukum
Simak Profil Yahya Ahmad Zein, yang belum lama ini jadi Guru Besar termuda di Universitas Borneo Tarakan
Penulis: Andi Pausiah | Editor: Amiruddin
Ia tak menampik juga Kaltara kondisi geografisnya berada di perbatasan. Istilahnya secara geografis Kaltara disebut Yahya memiliki ‘laboratorium’.
“Sementara yang lain kan bisa jadi punya SDM tapi tidak punya laboratorium.
Coba dibayangkan laboratorium kita perbatasan ini kemudian kita satukan dengan SDM yang mengkaji di bidang itu sehingga ke depan saat berbicara hukum perbatasan memang ada di UBT,” tegasnya.
Berbicara hukum perbatasan lanjutnya, sebelumnya memang ada namun sifatnya sendiri masih parsial. Dan pihaknya melalui buku yang diharapkan menjadi bahan ajar ini bisa secara komperhensif diakomodir.
“Dosen kami yang misalnya konsentrasi di Hukum Pidana, silakan dia bahas soal perdagangan orang di perbatasan. Kemudian Hukum Perdata, membahas bagaimana perdagangan di wilayah perbatasan,” lanjutnya.
Selanjutnya, Tata Negara berbicara soal kewenangan dan soal peraturan perundang-undangan. Ia optimis bisa lebih kompehensif jika semua disatupadukan.
Yahya juga berbahi tips keberhasilannya sampai saat ini karena memang rajin mengadministrasikan seluruh kegiatan yang pernah ia ikuti. Selain memang untuk tujuan penelitian, pengabdian.
“Utamanya penelitian saya dari dulu senang melakukan penelitian itu. Level internasional pernah kerja sama dengan Norwegia, termasuk dengan Universitas Malaysia Sabah sama-sama menulis buku,” ujarnya.
Selain Buku Hukum Perbatasan yang akan diterbitkan, juga ada satu buku lagi proses akan terbit dan bekerja sama dengan Belanda dan buku ini diterbitkan di Belanda.
“Dosen itu tiga fungsi. Pertama, pendidikan pengajaran. Kedua penelitian dan ketiga pengabdian. Karena tidak mungkin bisa mencapai Guru Besar kalau tidak melakukan penelitian.
Hasil penelitan dibukukan. Kalau pengajuan Guru Besar, itu harus bisa masuk ke Jurnal Internasional Bereputasi dan ini yang sulit karena harus bereputasi,” jelasnya.
Di Universitas Borneo Tarakan, bisa dikatakan ia dosen pertama yang mengawali kariernya dari jabatan sebagai Asisten Ahli, lalu naik menjadi Lektor Kepala hingga sampailah pada pangkat dosen tertinggi di perguruan tinggi yakni guru besar.
Sebenarnya kata Yahya, sebelum dirinya sudah ada Rektor UBT saat ini Prof. Adri Patton, kemudian sebelum Prof. Adri Patton menjabat sebagai rektor juga ada Prof. Jabarsyah saat ini menjabat sebagai Rektor Universitas Kaltara lebih dulu meraih gelar tersebut. Juga seingatnya ada Prof. Bahri dan sudah pindah ke perguruan tinggi lainnya.
Membahas lebih jauh kehidupan di masa-masa sulit pria kelahiran Tarakan, 14 Agustus 1979 ini sebenarnya bercita-cita ingin menjadi hakim.
Waktu itu kata Yahya, selepas lulus dari SMA tahun 1998 dimana masa-masa memasuki eranya reformasi dan untuk kuliah saja rasanya sangat sulit saat itu. Ia mengenang kondisi ekonomi orangtua sangat tak mendukung saat itu.
Namun ia percaya desain atau takdir dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Padahal ia tidak memiliki niat untuk kuliah saat itu.
“Saya punya Om kebetulan ditugaskan di Banjarmasin, jadi kenapa akhirnya pilih Universitas Lambung Mangkurat itu bukan tanpa alasan. Bayangan saya saat itu ada Om di sana. Kalaupun saya diterima bisa tinggal sama Om dan bukan untuk kuliah saat itu,” urainya.
Sehingga ia saat itu memulai langkahnya memasuki dunia kerja mengurus Kartu Kuning Termasuk SKCK untuk syarat kuliah meski ia tidak tahu apakah akan melanjutkan kuliah atau tidak.
Kemudian di saat bersamaan ada Program PBUD atau Penerimaan Bibit Unggul Daerah (PBUD) dan ini beasiswa diberikan langsung dari Kementerian saat itu.
“Jadi begitu ada form itu saya isilah. Ada beberapa universitas negeri saya lihat salah satunya di Banjarmasin. Dan waktu itu jarang orang memilih Banjarmasin seingat saya angkatan saya mungkin satu dua orang,” urainya.
Dulu orang berpikir orientasi perkuliahan pusatnya di Unmul yang terdekat untuk Kaltim atau di Jawa ada Malang, Yogyakarta.
“Saya pilih saat itu Banjarmasin karena tidak pertimbangan lain kecuali karena saya anggap oh ada Om saya di sana yang pindah tugas di sana, sebelumnya beliau di Tarakaan. Jadi saya ikut tes PBUD dan alhamdulillah lulus dan diterim di Universitas Lambung Mangkurat,” urainya.
Jujur lanjut Yahya, itu adalah pengalaman pertama kalinya akhirnya bisa menginjakkan kaki ke kota orang. Karena Yahya lahir dan besar di Kota Tarakan.
“Jadi pengalaman pertama berangkat keluar kota langsung ke sana. Urus administrasi dan kuliah,” ungkapnya.
Dari pengalaman suka dukanya ini, Yahya berpesan jika ingin sukses, harus ada perjuangan. Peluang yang ada di depan harus diambil.
“Karena akhirnya jalan itu terbuka. Makanya saya selalu bilang mungkin banyak doa dari orang-orang yang mungkin mengetuk pintu langit saat itu. Begitu juga sama halnya dengan tes dosen di Banjarmasin. Tidak ada koneksi, tes murni. Dari sekian banyak, saya bisa lolos,” kenangnya.
Ia tak menampik, mulai dari pendidikan S-1, S-2 dan S-3 dibantu lewat beasiswa yang muncul di momen yang tepat dan bersaman sehingga memberi ia kesempatan untuk mengambil peluang yang ada.
Saat mendaftar S2 misalnya, beasiswa dari Kemenristek saat itu. Ada form disiapkan untuk melanjutkan pendidikan S2, ia pun akhirnya segera memanfaatkan kesempatan yang ada. Begitu juga beasiswa melanjutkan pendidikan S3 beasiswa dari Pemkot Tarakan saat itu untuk dosen.
“Kenapa saya pilih UI Yogyakarta, karena saya ingin dulu Pak Machfud yang bimbing. Karena beliau waktu itu Ketua Mahkamah Konstitusi (MK). Sama ada satu Ketua Komisi Yudisial Pak Suparman Marzuki. Saya ingin bahwa beliau yang bimbing,” lanjutnya.
Akhirnya keinginannya tersampaikan. Ketua Komisial yang membimbingnya saat itu yakni Suparman Marzuki saat Menyusun disertasi bersama Prof. Jawahirul.
“Makanya saya pilih Yogyakarta dan UI itu karena beasiswanya sudah fiks di sana,” ujarnya.
Sejak awal memilih jurusan, ia memang sudah menyenangi persoalan hukum. Bahkan sebenarnya ia berpikir inginnya menjadi hakim.
Seiring berjalannya waktu, begitu sudah selesai pendidikan, ia memang mendapatkan tawaran menjadi hakim.
“Saya ada tawaran waktu itu, kebetulan lulusan terbaik waktu itu di S1. Kebetulan ada Hakim Agung, ada waktu itu saya tulis buku berjudul Kontrak Elektronik bisa di-serching.
Itu yang kasih kata sambutan Hakim Agung di Mahkamah Agung dan kebetulan dosen saya di Universitas Lambung Mangkurat dan sering dipinjamkan buku sama beliau sering juga diskusi,” lanjutnya.
Sehingga lulusa dari S1, dapat tawaran namun ia malah tidak mengambil kesempatan itu. Dan juga ada pilihan lain karena ada pendaftaran menjadi dosen maka ia memilih mendaftar sebagai dosen.
“Waktu itu kenapa ya saya juga bingung tidak memilih hakim. Mungkin jiwa ya. Menurut saya lebih enjoy dosen sepertinya,” pungkasnya.
Berikut judul buku yang sudah diterbitkan Yahya di antaranya pertama berjudul Mengurai Kompleksitas Hak Asasi Manusia (kajian multi perspektif) Seri Bunga Rampai tahun 2007 penerbit Pusham UII, Yogyakarta.
Buku kedua, terbit di tahun 2008 berjudul Kompleksitas Permasalahan Hukum yang diterbitkan Pustaka Themis.
Buku ketiga, terbit di tahun 2009 berjudul Kontrak Elektronik dan Penyelesaian Sengketa Bisnis E-Commerce (dlm transaksi Nasional dan Internasional) diterbitkan Mandar Maju.
Kemudian buku keempat, terbit di tahun 2010 berjudul Potret Pemenuhan Hak Atas Pendidikan dan Perumahan di Era Otonomi Daerah (Studi 3 Wilayah) diterbitkan oleh Pusham UII, Yogyakarta.
Selanjutnya buku kelima terbit tahun 2011, berjudul Membangun Hukum Indonesia (Kajian Filsafat,Teori Hukum,Sosial) dan diterbitkan Pustaka Prisma, Yogyakarta.
Setahun setelahnya, buku keenam tayang di tahun 2012 berjudul Problematika Hak Asasi Manusia diterbitkan oleh Liberty, Yogyakarta.
Tiga tahun berselang di tahun 2015, buku ketujuh terbit berjudul Hak Warga Negara Di Wilayah Perbatasan (Perlindungan Hukum Hak Atas Pendidikan dan Kesehatan) diterbitkan Liberty, Yogyakarta.
Lalu buku kedepalan, berjudul Legislatif drafting terbit di tahun 2016 oleh Thafamedia, Yogyakarta. Kemudian buku kesembilan berjudul Hukum Administrasi Negara terbit di tahun 2020 oleh Thafamedia, Yogyakarta. Dan buku kesepuluh yakni berjudul Hukum Acara PTUN di tahun yang sama 2020, diterbitkan Literasi Nusantara.
Baca juga: Mendikbud Ristek Nadiem Makarim Tiba di Tarakan, Resmikan Gedung Laboratorium Central Imu Hayati UBT
(*)
Penulis: Andi Pausiah