Opini
Spekulasi Picu Inflasi
Kebijakan diarahkan mendorong pertumbuhan menjadi lebih tinggi dan minimalisir instabilitas ekonomi. Namun ada saja faktor pengganggu.
Oleh: Dr Margiyono
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Borneo Tarakan
TRIBUNKALTARA.COM - “Pulih lebih cepat dan bankit lebih kuat”. Semangat Kemerdekaan. Merdeka dari penjajahan yang ke-77.
Juga merdeka dari Covid-19. Harapan segera pulih dan tumbuh lebih tinggi kembali terganggu oleh kondisi global.
Apalagi kalau bukan perang Rusia-Ukraina.
Konflik terbuka itu membuat banyak negara terdampak stabilisasi dan upaya ekspansinya. Pertumbuhan terpangkas.
Inflasi ikut-ikutan meninggi.
Menghadapi goncangan itu setiap negara melakukan penyesuaian kebijakan, baik dalam konteks fiskal dan moneter.
Kebijakan diarahkan mendorong pertumbuhan menjadi lebih tinggi dan minimalisir instabilitas ekonomi. Namun ada saja faktor pengganggu.
Baca juga: Angka Inflasi di Tanjung Selor Tinggi, Tim Pengendali Inflasi Daerah Kaltara Beber Pemicunya
Tak semuanya setuju. Seiring-sejalan. Ada yang justeru menyelinap di balik hiruk pikuk, kemudian mengeruk.
Apalagi, kalau bukan mengeruk untung lebih banyak.
Tega, bukan! Tulisan ini mencoba menjelaskan tindakan spekulasi yang merugikan pihak lain.
Kondisi Global
Perang Rusia-Ukraina mempengaruhi ekonomi global.
Berkaitan dengan itu International Monetary Fund (IMF) memproyeksi bahwa, pertumbuhan ekonomi global pada tahun 2022 hanya sebesar 2,9 persen.
Jauh dibanding pertumbuhan tahun sebelumnya yang mencapai lebih dari dua kali lipat yaitu 6,1 persen.
Dampak paling terasa dialami oleh negara maju.
Tahun 2021 masih mampu tumbuh 5,1 persen. Namun 2022 hanya hanya tumbuh sekitar 2,5 persen.
Berbeda dengan negara berkembang yang masih tumbuh sebesar 3,1 persen.
Meskipun pertumbuhan itu juga jauh dibawah tahun 2021, yang masih tumbuh 6,8 persen.
China tahun 2021 tumbuh 8,1 persen. Namun tahun 2022 diprediksi hanya tumbuh 3,4 persen.
Meskipun masih lebih rendah dibanding India yang diprediksi tumbuh 7,4 persen.
IMF memprediksi negara-negara ASEAN-5 (Indonesia, Malaysia, Philippines, Thailand, Vietnam) justru lebih baik dibanding 2021.
Tahun 2022 rata-rata Negara ASEAN bisa tumbuh sebesar 5,3 persen.
Padahal setahun sebelumnya hanya tumbuh 3,4 persen.
Baca juga: 4 Rekomendasi Perubahan APBD Malinau, Jaga Stabilitas Ekonomi Hingga Antisipasi Gelombang Inflasi
Prediksi ini memberikan optimisme bahwa, Indonesia berpeluang menikmati peningkatan kesejahteraan.
Bak menikmati indahnya bunga mawar. Kesejahteraan yang akan kita raih tak luput dari duri tangkainya.
Duri ekonomi yang saat kini terasa adalah goncangan kenaikan harga.
Kuatnya pengaruh global akibat pembatasan oleh beberapa negara atas respon perang Rusia-Ukraina serta gelombang panas (headwave) yang terjadi di mengakibatkan gangguan produksi dan distribusi oleh karena pendangkalan danau atau sungai.
Betapa tidak pada bulan Mei World Economic Forum, menyatakan. New Delhi suhunya mencapai 490C. Bahkan Pantai Barat Australia lebih tinggi lagi, yaitu 50,70C.
Tak ayal inflasi globalpun meninggi. Bloomberg & IMF, merilis Agustus 2022 rata-rata inflasi negara maju mencapai 7,91 persen.
Bahkan negara berkembang sudah masuk kategori inflasi tinggi, yaitu 10,43 persen.
Hal baik disampaikan Asian development Bank (ADB) bahwa, beberapa Negara ASEAN inflasinya masih lebih rendah dari itu.
Misalnya Indonesia, Thailand, dan Filipina diprediksi inflasinya hanya tahun 2022 hanya 5,2 persen. Nilai itupun sudah direvisi dari perkiraan semula 3,7 persen.
Prediksi tahun 2023 sebesar 4,1 persen, awalnya diperkirakan 3,1 persen.
Inflasi Nasional
Prediksi ADP ada benarnya, karena Agustus 2022 inflasi Indonesia hanya 4,69 persen. Itunlebih rendah dibanding Juli, yang mencapai 4,94 persen.
BPS menjelaskan, turunnya Inflasi nasional itu dipengaruhi oleh 79 dari 90 daerah yang di survei mengalami deflasi. Sementara ada 11 kota yang mengalami inflasi.
Baca juga: Dihantam Pandemi Covid-19, Ekonomi Tarakan Tumbuh Positif 5,6 Persen, Khairul Beber Penyebab Inflasi
Berdasarkan rata-rata inflasi setiap kawasan, Bali dan Nusa Tenggara pada bulan Agustus berada pada tingkat inflasi tertinggi. Mencapai 6 persen.
Tertinggi di Provinsi Bali, hingga mencapai 6,5 persen.
Kondisi ini tidak lepas dari meningkatnya permintaan oleh menggeliatnya sektor pariwisata pasca pandemi.
Sementara inflasi terendah terjadi di pulau Jawa. Untuk Bulan Agustus hanya 4,24 persen .
Masih di bawah rata-rata inflasi nasional. Inflasi tertinggi di Pulau Jawa terjadi di DI Yogyakarta. Inflasinya mencapai 5,5 persen.
Terendah di Provinsi Banten. Inflasi hanya 4,2 persen.
Untuk pulau lain, seperti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku Papua semua berada pada kisaran antara 5-5,9 persen.
Fenomena turunnya inflasi di pulau Jawa, tentu tidak bisa dipisahkan semakin kondusifnya harga minyak goreng.
Sejak Januari 2021 hingga Mei 2022 harga minyak terus meningkat. Kemudian mulai Juli terus menurun. Misalnya harga minyak goreng kemasan pada Juni 2022 masih RP 22.300/liter.
Selanjutnya menjadi 21.600/liter pada Juli. Harga minyak goreng curah tentu lebih rendah. Maret 2022 masih 17.300 dan Juli 2022 sudah 15.000/liter.
Minimalisir Potensi Spekulasi
Upaya perbaikan sejak dari ketersedian bahan baku, produksi dan distribusi turut memperbaiki tingkat inflasi.
Gonjang ganjing pola distribusi minyak goring antara domestik dengan ekspor saat itu, tidak lepas dari tindakan spekulasi dari pihak-pihak tertentu untuk memperoleh keuntungan.
Hal itu dibuktikan oleh andil minyak goreng terhadap inflasi (y.o.y) April 2022 masih sebesar 0,42 persen. Kemudian menurun hingga Juli tinggal 0,29 persen.
Hal lain yang juga memiliki kontribusi pada perbaikan inflasi di Pulau Jawa adalah ketersedian bahan pangan.
Sekalipun Jawa penduduknya terpadat dengan konsumsi tinggi, namun juga menjadi pusat pertanian. Di kala daerah lain mengalami kesulitan bawang merah.
Pulau ini menyediakan hasil produksi yang memadai. Misalnya Jawa Tengah yang berkontribusi 28,15 persen terhadap produksi nasional.
Jawa Timur di posisi kedua dengan berkontribusi 24,99 persen .
Baca juga: BPS Kaltara Catat Inflasi Bulanan 1,04 Persen, Slamet Romelan Singgung Harga Tiket Pesawat Tinggi
Selain itu perbaikan distrusi minyak dan ketersedian pangan di Pulau jawa berdampak positif pada inflasi yang lebih rendah di banding daerah lain.
Swadaya pangan dan pengaturan distribusi yang baik akan menjaga stabilitas ekonomi. Hal itu tentu dapat dijadikan best practice untuk daerah lain untuk komoditas apapun.
Hal lain yang menjadi perhatian adalah kenaikan tariff angkutan. Jika kita perhatikan kenaikan harga Pertalite dari Rp 7.650/liter menjadi Rp 10.000/liter naik 30,7 persen.
Solar dari Rp 5.150/liter menjadi Rp 6.800 atau naik 32,03 % . Sementara Pertamax hanya 16 % , dari Rp 12.500 menjadi Rp 14.500/liter.
Berdasarkan fakta itu maka, kenaikan tarif angkutan yang presentasenya jauh di atas kenaikan harga BBM, tidak bisa dikategorikan sebagai respon penyesuaian.
Namun ada upaya memperoleh keuntungan yang lebih besar di tengah kesulitan. (*)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/kaltara/foto/bank/originals/Pa-Margiyono.jpg)