Seluk Beluk Suku Punan Batu

Siapa Suku Punan Batu? Mengenal Pemburu Peramu Terakhir di Kalimantan

Penjelasan tentang Suku Punan Batu, pemburu peramu terakhir di hutan Kalimantan, mulai dari Bahasa Latala, hingga sistem sosial dan kepercayaannya.

TribunKaltara.com/Maulana Ilhami Fawdi
Suku Punan Batu saat tinggal di pondok sederhana (Leppo) di Hutan Sajau, Bulungan, Kaltara. (TribunKaltara.com/Maulana Ilhami Fawdi) 

TRIBUNKALTARA.COM, BULUNGAN - Hanya tersisa 103 orang, Suku Punan Batu hidup berkelompok dan tinggal di wilayah hutan Gunung Batu Benau di hulu Sungai Sajau, Bulungan, Kaltara.

Suku Punan Batu adalah suku terakhir di Kalimantan yang masih mempertahankan cara hidup dengan berburu dan meramu (hunter and gatherer) dan tinggal secara nomaden atau berpindah-pindah.

Studi yang dilakukan Lembaga Penelitian Eijkman dengan pengambilan sampel darah Suku Punan Batu serta ekstraksi DNA, menunjukan, secara genetika, Suku Punan Batu memiliki asal usul sejarah leluhur yang lebih tua dibandingkan dengan suku atau masyarakat lainnya di Kalimantan.

Suku Punan Batu disebut memiliki asal usul sejarah leluhur yang berbeda jika dibandingkan dengan suku atau masyarakat lain di sekitarnya seperti Suku Dayak Kenyah.

Peneliti Mochtar Riady Institute Pradiptadjati Kusuma mengatakan Suku Punan Batu tak memiliki bauran genetika Austronesia Agrikultur seperti halnya kebanyakan suku-suku lainnya di Kalimantan atau di Indonesia.

"Temuan saat ini, dari sejarah demografinya kita bisa melihat Suku Punan Batu memiliki sejarah yang unik," kata Pradiptadjati Kusuma.

"Bauran genetik Austronesia Agrikultur itu bisa kita lihat di masyarakat lain tetapi tidak di Punan Batu, sehingga bauran genetik Punan Batu ini jauh lebih tua," ucapnya menambahkan.

Baca juga: Suku Punan Batu Minta Hutan Dijaga: Kalau Tidak Ada Matilah Kami

Pradipta mengatakan Suku Punan Batu masih mewarisi cara hidup leluhurnya yang diperkirakan jauh lebih tua dibandingkan dengan suku atau masyarakat lain di Kalimantan yang dibawa oleh Austronesia Agrikultur.

Sebagai perbandingan, budaya Agrikultur leluhur Austronesia dibawa pada 4.000 tahun yang lalu sedangkan cara hidup berburu dan meramu diperkirakan terjadi pada 7.000 tahun yang lalu.

Dia menyampaikan Suku Punan Batu juga memiliki perbedaan dengan Suku Punan lainnya yang masih hidup di Kaltara seperti Suku Punan Tubu di Malinau.

Perbedaan paling signifikan ialah Suku Punan Tubu di Malinau mulai tinggal secara menetap dan mengadopsi pertanian atau agrikultur sebagai cara hidup mereka.

"Kemungkinannya, Punan Batu bukan merupakan transisi dari masyarakat Agrikultur kemudian berburu meramu, tetapi memang leluhurnya memang sudah berburu meramu," jelasnya.

Peneliti Genetika Populasi Mochtar Riady Istitute Pradiptadjati Kusuma.
Peneliti Genetika Populasi Mochtar Riady Istitute Pradiptadjati Kusuma. (TribunKaltara.com/Maulana Ilhami Fawdi)

Baca juga: Menjelang Pemilu 2024, KPU Bulungan Pastikan Hak Pilih Suku Dayak Punan Batu Terpenuhi

Meski secara genetika Suku Punan Batu lebih tua dan masih mewarisi cara hidup berburu dan meramu, Pradipta mengatakan belum mengetahui secara pasti sejak kapan Suku Punan Batu mendiami wilayah hutan Gunung Batu Benau.

Sebab berdasarkan pengamatan awal belum ada temuan artefak di sekitar goa atau liang tempat tinggal Suku Punan Batu saat ini.

"Apakah memang sudah ribuan tahun di sini? tentu masih diperlukan penelitian lebih lanjut tentang artefaknya dan arkeologisnya," kata dia.

Bahasa Kuno Latala

Tak hanya secara genetika, bukti bahwa Suku Punan Batu mewarisi budaya leluhur yang lebih tua dapat terekam lewat Bahasa Latala.

Diketahui Suku Punan Batu menggunakan Bahasa Latala dengan cara disenandungkan saat menjalankan ritual atau merapalkan doa.

Bahasa Latala berbeda dengan Bahasa Punan yang merupakan alat komunikasi sehari-hari yang digunakan oleh Suku Punan Batu.

"Tuturan Bahasa Punan itu masuk dalam rumpun Austronesia, tetapi Bahasa Latala itu bahasa yang cukup berbeda. Karena bukan rumpun bahasa Austronesia atau Austroasiatik.

Latala itu hanya dituturkan di sini sehingga dapat dikatakan kuno jika melihat umur genetika Suku Punan Batu yang juga kuno," ujarnya.

Namun bahasa kuno itu mulai terancam punah. Alasannya jumlah penutur Bahasa Latala semakin menyusut seiring dengan mulai enggannya generasi muda Suku Punan Batu untuk mempelajari Bahasa Latala.

Hal itu pun diakui oleh Bodon, salah seorang tetua Suku Punan Batu yang mempelajari Bahasa Latala dari orang tuanya.

Menurut Bodon dirinya kini tak lagi meneruskan pengetahuan tersebut karena rendahnya keinginan belajar Bahasa Latala dari generasi muda Suku Punan Batu.

"Anak-anak sekarang tidak ada yang belajar Bahasa Latala, hanya orang-orang tua saja, itupun juga tidak semua," keluh Bodon.

Onget tengah beristirahat di Liang (Goa) Nyahut-Nyahut, Gunung Batu Benau, Bulungan, Kaltara. Suku Punan Batu tinggal secara nomaden mereka hidup berpindah dari satu Liang ke Liang lain.
Onget tengah beristirahat di Liang (Goa) Nyahut-Nyahut, Gunung Batu Benau, Bulungan, Kaltara. Suku Punan Batu tinggal secara nomaden mereka hidup berpindah dari satu Liang ke Liang lain. (TribunKaltara.com/Maulana Ilhami Fawdi)

Baca juga: Ketika Hutan tak Lagi Menjanjikan Bahan Makanan Bagi Suku Punan Batu, Ubi dan Lalihi Sulit Dicari

Sistem Sosial dan Kepercayaan

Studi Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) menunjukan Suku Punan Batu merupakan masyarakat yang relatif egaliter. Tidak ada stratifikasi sosial yang ajeg dalam sistem sosial Suku Punan Batu.

Jika terdapat persoalan di antara kelompok keluarga Suku Punan Batu maka diselesaikan dengan cara musyawarah antarkelompok keluarga dengan melibatkan tokoh orang tua dari Suku Punan Batu.

Selain itu Suku Punan Batu juga memiliki kepercayaan terkait pantangan.

Pantangan tersebut beragam dan mengatur kehidupan sosial Suku Punan Batu, utamanya di saat mencari binatang ataupun makanan di hutan.

Salah satu pantangan Suku Punan Batu ialah jika tengah berpapasan dengan ular saat berjalan di hutan, maka diwajibkan untuk menghentikan perjalanan selama setidaknya satu hari satu malam.

Hal yang sama juga dilakukan jika mendengar suara kayu yang rubuh atau mendengar suara ayam di hutan.

Heri mengatakan pantangan wajib dijalankan karena jika tidak maka akan timbul konsekuensi kepada individu tersebut.

Sejumlah konsekuensi diantaranya penyakit yang bakal timbul.

Heri, saat ditemui di pondok tempat tinggal di pedalaman Hutan Sajau, Bulungan, Kaltara. Menurut Heri mematuhi pantangan wajib agar terhindar dari penyakit.
Heri, saat ditemui di pondok tempat tinggal di pedalaman Hutan Sajau, Bulungan, Kaltara. Menurut Heri mematuhi pantangan wajib agar terhindar dari penyakit. (TribunKaltara.com/Maulana Ilhami Fawdi)

Baca juga: Demi Hajat Hidup Suku Punan Batu, Pemkab Bulungan Terbitkan SK Masyarakat Hukum Adat

"Kalau kita langgar pantangan, misal kita tetap jalan, kita akan sakit, sakitnya demam dan itu pasti. Kalau pakai obat paramex itu tidak mempan, jadi ya memang harus diam (patuhi pantangan) saja obatnya," ujar Heri.

Kini keberadaan Suku Punan Batu hari semakin terancam dengan semakin menyusutnya area hutan tempat mereka tinggal.

Ancaman juga datang dari perubahan gaya hidup modern berkat pengaruh dari orang luar.

Suku Punan Batu berharap pemerintah serta pihak terkait lainnya memikirkan masa depan mereka agar tetap bisa mempertahankan budaya dan cara hidup sebagai suku pemburu peramu terakhir di Kalimantan. (Mulana Ilhami Fawdi)

Jangan Lupa Like Fanpage Facebook TribunKaltara.com

Follow Twitter TribunKaltara.com

Follow Instagram tribun_kaltara

TikTok tribunkaltara.com

Follow Helo TribunKaltara.com

Subscribes YouTube Tribun Kaltara Official

Sumber: Tribun Kaltara
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved