Kisah Petani di Bulungan
Curhat Wahid Petani Bulungan saat Pedagang tak Minati Beras Lokal, Berharap Pemerintah Ambil Peran
Agar Bulungan, Kalimantan Utara tetap mandiri di sektor pangan, yakni beras, Wahid petani beras berharap pemerintah daerah konsistensi beri bantuan.
Penulis: Edy Nugroho | Editor: Junisah
TRIBUNKALTARA.COM, BULUNGAN - Untuk menjadikan Bulungan, Kalimantan Utara mandiri dalam sektor pangan, khususnya beras, Pemerintah tidak cukup hanya memberikan bantuan kepada petani, tetapi lebih dari itu.
Pemerintah Daerah harus ambil peran dalam tata niaga, perlindungan dan jaminan dalam tata niaga terhadap hilirisasi produksi hasil-hasil pertanian, salah satunya tanaman pangan, berupa padi atau beras.
Hal tersebut, setidaknya bisa dirasakan seperti yang menjadi pengalaman Wahid dan para petani lainnya di Tanjung Buka SP 1, Bulungan pada medio 2011-2013.
Saat itu, seperti disampaikan Wahid, petani yang tergabung dalam Gapoktan (gabungan kelompok tani) setempat, dengan dukungan Pemerintah, mampu mengolah sawah hingga kurang lebih 500 hektare.
Baca juga: Cerita Petani Tanjung Buka SP 1 Bulungan, Dulu Berjaya Jual Puluhan Ton Beras, Kini Terlilit Utang
Wahid sendiri, yang merupakan pengurus Gapoktan di Tanjung Buka SP 1 mengakui, saat itu dari tanah persawahan yang dikelola petani menghasilkan gabah kering antara 3 hingga 6,5 ton per hektare.
Jika akumulasi, produksi gabah kering dari SP 1 saja kala itu mampu menghasilkan 2.250 ton gabah kering.
Ini jika dirata-ratakan produksi per hektarnya adalah 4,5 ton gabah kering dikali 500 hektare. Atau sekitar 1.000 ton beras, dengan asumsi rata-rata per 100 kg beras menghasilkan 45 - 50 kg beras.
Wahid yang saat itu juga menjadi salah satu pembeli beras petani, bahkan sudah membuat merek dan kemasan karung sendiri.
“Saya sampai bisa kirim ke Tarakan,” kenang Wahid lagi.
Namun masalah kemudian muncul. Pedagang beras kurang bahkan tidak berminat membeli beras lokal, meskipun dijual dengan harga yang sama dengan beras-beras yang berasal dari luar Kaltara.
“Beras kami tidak bisa tahan lama. Ya, paling bisa bertahan hingga dua bulan. Sementara beras dari luar bisa bertahan lebih dari itu,” ujarnya.
Ada banyak faktor yang membuat beras lokal tidak bisa bertahan lama jika dibandingkan dengan beras yang didatangkan dari Pulau Jawa dan Sulawesi. Salah satunya adalah tingkat kekeringan yang tidak standar.
Baca juga: Perum Bulog Tarakan Ucapkan Terimakasih, Usai Pelaku Beras Oplosan Ditangkap Polisi
Untuk petani mengandalkan pengeringan dengan paparan sinar matahari, sehingga kekeringannya tidak seragam.
“Selain itu kita tidak menggunakan pengawet. Makanya dua bulan sudah mulai muncul kutu,” imbuhnya.
Dari berbagai pengalaman dan kisah yang disampaikan petani dari Tanjung Buka ini, dapat diambil kesimpulan bahwa, potensi menjadikan Kaltara Mandiri dalam sektor pangan sangat terbuka dan sangat mungkin dilakukan.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/kaltara/foto/bank/originals/Persawahan-di-Tanjung-SP-1-Bulungan-20072024.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.