Berita Tana Tidung Terkini

Gen Z Rentan Terkena Masalah Mental, Dokter Puskemas Kujau Tana Tidung Kaltara Beber Penyebabnya

Di era Generasi Z saat ini sangat marak pemberitaan terkait isu mental yang rentan dialami oleh anak-anak yang tergolong dalam usia Gen Z.

Penulis: Rismayanti | Editor: M Purnomo Susanto
TribunKaltara.com/Rismayanti
Dokter umum Puskesmas Kujau Kecamatan Betayau, Yesi Harmayani saat menyampaikan materi self love kepada pelajar di aula bersama Disdikbud Tana Tidung, Selasa (8/10/2024). (TribunKaltara.com/Rismayanti) 

TRIBUNKALTARA.COM, TANA TIDUNG - Di era generasi Z, atau yang kerap dipanggil Gen Z saat ini sangat marak pemberitaan terkait isu mental yang rentan dialami oleh anak-anak yang tergolong dalam usia Gen Z.

Gen Z sendiri dikenal sebagai golongan orang yang lahir setelah generasi milenial atau yang lahir antara tahun 1997 hingga kelahiran tahun 2012.

Menurut dokter umum Puskesmas Kujau Kecamatan Betayau yang fokus pada bidang kejiwaan, dr Yesi Harmayani golongan Gen Z lebih rentan mengalami masalah mental karena dipengaruhi oleh perkembangan zaman yang serba digital.

"Kenapa Gen Z itu lebih rentan terkena gangguan mental itu karena sekarang sudah maju sudah ada teknologi, seperti handphone dan mereka juga sudah punya media sosial," ujar dr Yesi Harmayani, Rabu (9/10/2024).

Baca juga: Bisa Pengaruhi Mental, Psikolog Tana Tidung Jelaskan Dampak Parent Abuse di Perkembangan Psikis Anak

Pesatnya kemajuan teknologi ini lah yang membuat terjadinya penurunan interaksi sosial pada anak generasi saat ini.

"Jadi susah bersosialisasi dengan orang lain, beda dengan kita dulu yang teknologi tidak secanggih sekarang jadi kita berteman dengan siapa saja kita berbaur sehingga mengucilkan diri sendiri itu tidak ada," ungkapnya.

Ia mengatakan salah satu permasalahan Gen Z saat ini karena intensitas penggunaan gadget yang tinggi sehingga interaksi sosial kurang yang kemudian berdampak pada kualitas mental.

"Untuk Gen Z sekarang ini faktor terbesarnya  terlalu fokus dengan penggunaan elektronik akhirnya kurang berkenalan dengan orang yang ada disekitarnya sehingga mereka kurang berani dan kurang bersosialisasi itu yang bisa membuat gangguan mental," katanya.

Ia menjelaskan peran orang-orang sekitar khususnya orang tua sangat diperlukan untuk menunjang interaksi sosial anak sehingga dapat mengurangi dampak kesehatan mental anak.

"Karena interaksi sosial itu sangat mempengaruhi makanya kita butuh peran orangtua, keluarga dan kalau di lingkungan sekolah itu guru dan teman teman itu sangat berpengaruh besar untuk kesehatan mental," jelasnya.

Meskipun isu mental sangat booming saat ini, tapi seseorang yang mengaku mengalami gangguan mental tidak bisa melakukan diagnosa diri karena pemberian diagnosa hanya boleh dilakukan oleh pakar kejiwaan.

"Tapi masalah kesehatan mental tidak bisa juga langsung main diagnosa diri itu sangat bahaya saya aja sebagian dokter umum tidak bisa mendiagnosa seseorang hanya dengan hasil skrining itu tidak boleh karena banyak sistem penilaiannya," tegasnya.

Ia menambahkan penggolongan masalah mental sangat banyak sehingga perlu dilakukan pemeriksaan yang jelas untuk mendiagnosa seseorang mengalami gangguan mental.

"Makanya tadi kalau sudah ada penilaian batas ambangnya bagaimana baru bisa kita tentukan diagnosa kearah mana karena gangguan jiwa itu sangat banyak dan sangat luas," tambahnya.

"Jadi tidak bisa kita bilang diri kita gila dan sebagainya karena itu butuh diagnosa dokter dan lebih ahlinya lagi dokter spesialis kejiwaan kalau memang butuh pengobatan nanti dokter jiwanya yang berikan," sambungnya.

Sumber: Tribun Kaltara
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved