Berita Nunukan Terkini

RSUD Nunukan Nilai BPJS Monopoli Kebijakan Jaminan Kesehatan: Jangan Benturkan Kami dengan Pasien

RSUD Nunukan menilai BPJS Kesehatan memonopoli kebijakan jaminan kesehatan peserta, pasca berlakunya Permenkes Nomor 47 Tahun 2018.

Penulis: Febrianus Felis | Editor: M Purnomo Susanto
TribunKaltara.com / Febrianus Felis
RAPAT DENGAR PENDAPAT - Situasi rapat dengar pendapat di ruang rapat Ambalat I Kantor DPRD Nunukan yang menghadirkan RSUD Nunukan, BPJS Kesehatan Kabupaten Nunukan dan Tarakan, Dinas Kesehatan Kabupaten Nunukan, Ombudsman RI Kanwil Kalimantan Utara (Kaltara) melalui zoom meeting, Senin (03/02/2025), sore. 

TRIBUNKALTARA.COM, NUNUKAN - RSUD Nunukan, Kalimantan Utara (Kaltara) menilai Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan memonopoli kebijakan jaminan kesehatan peserta, pasca berlakunya Permenkes Nomor 47 Tahun 2018.

Diketahui peraturan tersebut mengatur tentang pelayanan kegawatdaruratan dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kegawatdaruratan yang terpadu dan terintegrasi dalam Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT). 

Plt Direktur RSUD Nunukan, Sabaruddin mengatakan, sejak diberlakukannya Permenkes Nomor 47 Tahun 2018 pada 1 Januari 2025 banyak masalah pelayanan kesehatan yang dialami oleh RSUD Nunukan

Bahkan mengalami kerugian dalam pemberian layanan kesehatan kepada pasien BPJS Kesehatan.

Baca juga: BPJS Kesehatan Rangkul Stakeholders Wujudkan Ekosistem JKN Tanpa Kecurangan

"RSUD dengan BPJS Kesehatan itu kan mitra kerja. Harusnya bisa saling komunikasi. Saya beberapa kali minta pertemuan dengan BPJS, tapi sangat sulit terlaksana. Padahal RSUD yang bersentuhan langsung dengan pasien," kata Sabaruddin kepada TribunKaltara.com, Rabu (05/02/2025), pukul 14.00 Wita.

Lanjut Sabaruddin, "Ketika kami disodori perjanjian kerjasama, mestinya pointnya dibahas bersama. Tapi ini seolah-olah 'ijab kabulnya' dipaksa. Ini berlaku di seluruh Indonesia. Kami tidak punya ruang untuk koreksi kebijakan itu, padahal dampak negatifnya kepada layanan rumah sakit, " tambahnya.

Sabaruddin menguraikan sejumlah masalah yang dia maksudkan, diantaranya sosialisasi yang tidak maksimal kepada peserta terkait layanan apa saja yang bisa dibayarkan oleh BPJS Kesehatan

Tidak hanya di Instalasi Gawat Darurat (IGD), tapi juga rawat jalan, bahkan rawat inap.

Ketidaktahuan pasien BPJS Kesehatan tersebut kerap kali memunculkan stigma bahwa RSUD Nunukan menolak memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien BPJS.

Sehingga RSUD Nunukan menganggap Permenkes Nomor 47 Tahun 2018 ibarat "buah simalakama". Pada satu sisi ketika aturan tersebut dijalankan, rumah sakit akan mengalami kerugian, karena tak semua layanan dapat diklaim ke BPJS Kesehatan.

Pada sisi yang lain, rumah sakit merupakan institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.

"Banyak pasien BPJS Kesehatan yang tidak tahu layanan emergency seperti apa yang bisa dibayarkan BPJS Kesehatan. Bayangkan aja kalau ada pasien rujukan Poli dari wilayah IV. Pasien harus melalui perjalanan laut dan darat ke Nunukan. Begitu sampai, layanan poli sudah tutup. Mau tidak mau ke IGD. Padahal pasien itu tidak masuk kriteria emergency. Kalau tidak dilayani, kami dikatain tolak pasien. Padahal itu aturan main BPJS Kesehatan. Jadi jangan benturkan kami dengan pasien," ucap Sabaruddin.

Lalu Sabaruddin juga kritisi soal pembatasan layanan rawat inap yang kerap kali menimbulkan perdebatan manajemen RSUD dengan keluarga pasien.

Sabaruddin mencontohkan pasien BPJS yang baru dirawat inap satu malam dan esoknya sudah merasa sehat, sehingga minta dipulangkan ke rumah. 

Ketika dokter RSUD Nunukan melarang pasien untuk pulang lantaran belum memenuhi kriteria rawat inap versi BPJS Kesehatan, keluarga pasien menjadi marah.

Sumber: Tribun Kaltara
Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved