Berita Nunukan Terkini

RSUD Nunukan Nilai BPJS Monopoli Kebijakan Jaminan Kesehatan: Jangan Benturkan Kami dengan Pasien

RSUD Nunukan menilai BPJS Kesehatan memonopoli kebijakan jaminan kesehatan peserta, pasca berlakunya Permenkes Nomor 47 Tahun 2018.

Penulis: Febrianus Felis | Editor: M Purnomo Susanto
TribunKaltara.com / Febrianus Felis
RAPAT DENGAR PENDAPAT - Situasi rapat dengar pendapat di ruang rapat Ambalat I Kantor DPRD Nunukan yang menghadirkan RSUD Nunukan, BPJS Kesehatan Kabupaten Nunukan dan Tarakan, Dinas Kesehatan Kabupaten Nunukan, Ombudsman RI Kanwil Kalimantan Utara (Kaltara) melalui zoom meeting, Senin (03/02/2025), sore. 

"Keluarga pasien malah marahnya ke kami. Kenapa harus ditahan, keluarga kami sudah sehat. Kalau kami izinkan, rawat inap itu tidak dapat diklaim ke BPJS. Pernah ada pasien yang merasa sudah kuat dan mau pulang, tapi tidak diizinkan. Pasiennya sampai kabur dari RSUD," ujarnya.

Tak Ada Pegawai BPJS Kesehatan di RSUD

Menurut Sabaruddin, situasi tersebut diperparah lagi dengan tidak adanya pegawai BPJS Kesehatan yang siaga 24 jam di RSUD Nunukan. Sementara RSUD Nunukan beroperasi melayani pasien BPJS Kesehatan selama 24 jam.

"RSUD itu beroperasi 24 jam. Harusnya ada staf atau pegawai yang siaga 24 jam juga. Supaya kalau ada keluhan peserta BPJS bisa dijelaskan. Jangan limpahkan tugas BPJS kepada RSUD. Itu regulasinya BPJS, kok kami yang harus sosialisasikan," tuturnya.

Proses Verifikasi Klaim RSUD ke BPJS 

Berikutnya Sabaruddin menjelaskan bahwa, proses verifikasi klaim RSUD Nunukan ke BPJS Kesehatan tak maksimal, sehingga ada proses pengembalian dana yang sudah dibayarkan ke rumah sakit.

"RSUD sudah klaim bayar ke BPJS dan diverifikasi. Lalu kalau ada yang diperbaiki akan dikembalikan. Setelah rumah sakit perbaiki, ada yang bisa dibayar BPJS dan ada yang tidak. Bahkan yang sudah dibayar pun tetap ada peluang mengembalikan ke BPJS, apabila diaudit kemudian hari. Layanan rumah sakit jadi terganggu," ungkap Sabaruddin.

Nihilnya Sosialisasi Kriteria Layanan ke Dokter

Selain itu, Sabaruddin juga mengungkapkan BPJS Kesehatan tidak pernah melakukan sosialisasi terkait kriteria pelayanan pasien yang dapat diklaim kepada rumah sakit, terutama kepada dokter penanggungjawab pasien.

"Nihil sama sekali sosialisasi soal kriteria layanan pasien BPJS Kesehatan kepada dokter penanggungjawab pasien. Dokter itu melakukan pelayanan kesehatan sesuai ilmunya. Kalau ada regulasi baru harusnya disampaikan. Jangan sudah dieksekusi dokter, belakangan baru ngomong ini dan itu tidak boleh," imbuhnya.

Pola Tarif INA CBGs Rugikan RSUD

Pola tarif yang digunakan BPJS Kesehatan untuk membayar rumah sakit yakni Indonesian-Case Based Groups (INA-CBGs). 

Sabaruddin menuturkan, pola tarif INA-CBGs sangat merugikan RSUD Nunukan.

Baca juga: Komisi IV DPRD Kaltara Gelar Pertemuan Bersama BPJS Kesehatan dan Dinkes, Bahas PBI

"Pola tarif yang kami buat sudah ada aturannya. Ketika BPJS Kesehatan sodorkan pola tarifnya itu jauh sekali selisihnya. Misalnya layanan hemodialisa. Kami keluarkan uang untuk beli logistik Rp1,3 juta. Sementara yang dibayar BPJS hanya Rp900 ribu. Tidak mungkin kami kirim pasien ke Tarakan pasien. Kasian pasien harus nanggung biaya lagi," pungkasnya.

Dia berharap DPRD Nunukan segera merekomendasikan ke pemerintah pusat perihal keluhan RSUD terhadap kebijakan BPJS Kesehatan di dalam Permenkes Nomor 47 Tahun 2018.

"Dua hari lalu, kami sudah rapat dengar pendapat di Kantor DPRD Nunukan bersama BPJS Kesehatan baik dari Nunukan maupun Tarakan. Saya harap hasil pertemuan bisa direkom ke pusat, karena ini masalah seluruh Indonesia. Supaya dilakukan perubahan regulasi. RSUD seperti dipaksa berikan pelayanan oleh BPJS yang merugikan rumah sakit," terangnya.

Penulis: Febrianus Felis

Sumber: Tribun Kaltara
Halaman 2 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved