Berita Nasional Terkini
Pengusaha Waswas PHK Besar-besaran, Imbas Melemahnya Nilai Tukar Rupiah: 6 Perusahaan Tutup Pabrik
Sejumlah pengusaha mulai waswas adanya PHK besar-besaran, imbas melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar, 6 perusahaan sudah tutup pabrik.
TRIBUNKALTARA.COM, JAKARTA – Sejumlah pengusaha mulai waswas adanya Pemutuhan Hubungan Kerja ( PHK ) besar-besaran, imbas melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar, 6 perusahaan tutup pabrik.
Saat ini nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terus mengalami pelemahan dan bertengger di level Rp16.400.
Dikhawatirkan akan terjadi PHK besar-besaran di dunia usaha.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia ( Apindo ) Shinta W. Kamdani menyebut, pelemahan nilai tukar rupiah hingga mencapai Rp 16.400 per dolar AS sangat tidak kondusif bagi dunia usaha.
"Depresiasi rupiah secara umum melemahkan produktivitas dan daya saing industri.
Ini karena efek depresiasi rupiah terhadap berbagai industri relatif sama, yakni meningkatkan beban produksi existing," ujar Shinta saat dihubungi Tribun, Selasa (18/6/2024).
Menurutnya, perusahaan-perusahaan yang memiliki kemampuan finansial yang terbatas atau memiliki market yang “vulnerable” akan berkurang signifikan.
Baca juga: MK Tolak Semua Gugatan terhadap UU Cipta Kerja, Ancaman PHK Buruh Lebih Banyak dan Upah Buruh Rendah
Bahkan, akan hilang sepenuhnya karena kompetisi pasar bila harga barang yang diproduksi meningkat, dan akan memiliki risiko PHK, pengurangan kapasitas produksi hingga penutupan usaha.
"Jadi pengurangan pekerja karena depresiasi rupiah sangat terbuka. Meskipun demikian, kami tidak memproyeksikan PHK akan dilakukan secara masif pada saat yang bersamaan dalam waktu dekat.
Kemungkinan PHK justru akan terjadi secara bertahap seiring dengan pelemahan kinerja usaha yang disebabkan oleh depresiasi rupiah," ucap Shinta.
Industri yang akan paling rentan mengalami PHK tentu adalah industri-industri yang memang sudah berusaha untuk bertahan di pasar, khususnya industri-industri padat karya berorientasi ekspor.
"Di satu sisi, mereka tidak memiliki demand pasar yang kuat karena pelemahan pertumbuhan ekonomi global," terang Shinta.
Padahal beban biaya operasional atau opex terus meningkat seiring dengan kenaikan upah, suku bunga dan beban-beban opex lainnya.
Depresiasi rupiah, menurut Shinta, semakin menambah beban-beban opex ini dan berimbas pada penurunan daya saing industri tersebut di pasar ekspor.
Baca juga: Ratusan Pekerja Demo Pertamina Kilang, Tolak Diskriminasi Tenaga Kerja Asing dan Ancaman PHK Sepihak
"Untuk industri lain, yang juga vulnerable terdampak negatif produktivitasnya adalah industri-industri manufaktur yang memiliki proporsi impor bahan baku atau penolong yang tinggi seperti industri mamin, industri automotif, industri produk elektronik, dan lain-lain," ujar Shinta.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.