Langkah Kecil Kaki Radit di Kampung yang tak Menyimpan Langit
Namanya Radit, bukan anak orang yang punya banyak harta. Meskipun dilahirkan dalam keterbatasan, semangatnya membara.
Langkah Kecil Kaki Radit di Kampung yang Tak Menyimpan Langit
Novel karya: Marthin
Bab 1: Lahir dari Tanah yang Jauh
Namanya Raditya. Tapi orang-orang lebih senang memanggilnya Radit, sebuah panggilan akrab yang melekat sejak ia bisa mengingat namanya sendiri. Ia dilahirkan dari cinta dua insan yang sederhana, Sultan dan Sari. Bukan keluarga bangsawan, bukan pula orang yang punya banyak harta. Justru sebaliknya, keluarga Radit dikenal sebagai salah satu yang paling pas-pasan di desanya.
Desa itu jauh. Bahkan sangat jauh. Orang-orang harus menempuh perjalanan panjang, melewati jalan berliku dan berbatu, dengan biaya transportasi yang tak bisa dibilang murah. Tapi bagi Radit, itu bukan penghalang. Itu adalah rumah.
Ia adalah anak keempat dari tujuh bersaudara. Di rumah papan yang sudah lapuk dimakan usia, tangis bayi silih berganti menyambut pagi. Kehangatan bukan datang dari kemewahan, melainkan dari pelukan ibu, atau suara tawa kecil yang muncul meski perut keroncongan.
Meskipun dilahirkan dalam keterbatasan, semangatnya membara. Tak terlihat, memang, tapi terasa. Ibarat api dalam sekam. Diam, namun terus menyala. Radit selalu ingin tahu, selalu ingin mencoba hal-hal baru, seakan tak ingin kalah oleh nasib.
“Kalau bisa memilih, aku mungkin tak ingin lahir ke dunia ini,” ucap Radit suatu kali dalam hatinya.
Tapi itu hanya sepintas pikirannya. Sebab dalam hati kecilnya, ia tahu hidup bagaimanapun harus dijalani dan dihadapi. Namanya masa lalu itu sebuah kenangan, hanya bisa diramu. Kepalanya yang bulat, dengan tingkat berpikir dewasa yang di atas rata-rata, dia percaya masa depan akan lebih baik dibandingkan dari keluarga di mana dia dilahirkan.
Sebagai anak yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, Radit sangat bersyukur karena telah hadir ke dunia lewat keluarga yang sederhana itu. Hari-hari dia lewati, sedari kecil hingga bertumbuh dan berkembang layaknya orang pada umumnya.
Semasa kecil, dia kebanyakan menghabiskan waktu bermain. Tapi bedanya dengan anak-anak lain dengan latar belakang ekonomi mampu, tempat bermainnya beda, seperti sepeda atau motor listrik, jump sport, kolam renang, dan beragam fasilitas lainnya.
Radit bukan anak yang manja. Sejak kecil, dia sudah terbiasa dengan keringat dan tanah. Lumpur bukanlah kotoran, melainkan bagian dari mainannya sehari-hari. Ia membantu orang tuanya di sawah, memetik kopi di kebun, atau mencari kayu bakar. Tangannya kasar sejak usia dini, tapi hatinya lembut dan penuh impian.
Seiring berjalanya waktu, Radit terus bertumbuh dan berkembang. Lambat laun, dia merasa kasih sayang itu mulai memudar lantaran ada adiknya yang baru dilahirkan juga ke dunia, mengikuti jejaknya. Berlanjut sampai ke anak yang bungsu.
Bab 2: Sekolah dengan Sandal Jepit
Ketika usianya cukup, Radit pun didaftarkan ke salah satu sekolah dasar di kampung itu. Sekolah itu berdiri sederhana, dengan bangunan kayu yang catnya mulai mengelupas. Hari pertama sekolah adalah hari yang campur aduk, antara semangat dan rasa malu.
Kekurangan demi kekurangan ia melihat dari lingkungan tempatnya bersekolah. Anak-anak lain datang dengan seragam baru, putih bersih, harum, rapi, dan sepatu hitam yang masih berkilau. Alas kakinya, menggunakan sepatu baru, kelihatan dari modelnya yang mengkilat serta dibungkus kaus, yang belakangan ia tahu itu namanya kaus kaki.
Radit datang dengan baju warisan kakaknya. Seragam tambal sulam, dengan warna kain yang tak serasi. Hal itu menimbulkan rasa minder dalam diri Radit minder, karena tampil beda dan cenderung konyol dibandingkan yang lain. Sandal Jepit kusam yang juga peninggalan sang kakak meski masih kelihatan layak untuk digunakan.
Kontras. Pemandangan itu sangat terlihat dan hari-harinya ia lewati dengan pemandangan yang kian hari, semakin menghantui perasaan dan mentalnya. Meski dia tidak sendirian, tapi kalau terlihat secara mayoritas, pakaian yang ia kenakan cenderung dialah yang di bawah rata-rata.
Radit tahu dia berbeda. Ia bukan anak yang tak bisa berpikir. Ia tahu, karena tiap kali ia masuk kelas, ada tatapan mata yang mengarah ke bajunya. Ada suara tawa kecil yang ia dengar, walau kadang pura-pura tak peduli. Ada ejekan yang mengendap di kepala meski telah berlalu berminggu-minggu.
Ia belajar menyendiri. Bukan karena ia tak ingin berteman, tapi karena perasaan rendah diri lebih kuat dari keberanian untuk mendekat.
“Bukan salahku dilahirkan miskin,” pikir Radit.
”Tapi aku tak bisa menyalahkan siapa-siapa juga.” lanjutnya.
Dilahirkan dari keluarga dengan ekonomi lemah, diakuinya tidaklah enak. Pahit manis semua ditelan, tapi kebanyakan pahitnya.
Hingga akhirnya Radit menyadari kekurangan yang ia rasakan tidak hanya dari segi berpakaian, tapi juga dari segi kebutuhan makanan, yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Boro-boro berbicara susu, untuk mencari sesuap nasi saja sulitnya minta ampun.
Bahkan, saat pulang sekolah yang biasanya pada pukul 12.00 Wita, Radit harus menempuh jalan kaki sejauh kurang lebih 5 kilometer. Sama halnya, sebelum berangkat sekolah. Tiap harinya, pada pukul 06.40 Wita, biasanya sudah sarapan dan siap-siap langsung meluncur berangkat ke sekolah.
Ada pepatah mengatakan lebih cepat lebih baik, supaya tidak terlambat. Karena, kalau terlambat sudah menjadi makanan para guru untuk mencubit, mencibir, membentak hingga memukul murid. Padahal, mereka terlambat bukan karena kemauan sendiri, tapi karena jarak tempuh dari kampung ke sekolah yang begitu jauh.
Tapi tetap saja, itu bukanlah sebuah alasan bagi guru dan tetap memukul, menghina dan mencaci-maki muridnya. Didikan di sekolahnya memang terkenal keras. Hal itu pula yang menempa mentalnya hingga sekuat baja.
Pendidikan di sekolahnya juga tak jauh berbeda dengan sekolah zaman sekarang dengan memberikan ilmu kepada anak didik sebagai amanat UU yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Tapi perlu dicatat, kecerdasan itu idealnya seirama dengan kebutuhan sandang, papan dan pangan. Namun, sayang sekali tidak bagi Radit.
Bab 3: Lapar dan Pelajaran Hidup
Lonceng sekolah berdentang pukul 12.00 Wita. Anak-anak kelas 1,2, dan 3 biasanya pulang lebih awal. Sementara, kakak mereka yang duduk di kelas 4,5 dan 6 SD itu pulang lebih lambat. Biasanya mereka pulang kurang lebih pukul 13.15 Wita ataupun hingga pukul 13.30 Wita.
Namun, itu bukanlah inti masalahnya. Radit yang baru duduk di bangku SD kelas 1 ini bersama teman-temannya harus pulang menyusuri jalan setapak yang panas, debu naik, peluh menetes. Mereka harus rela berjalan kaki sejauh 3 kilometer dengan keadaan perut kosong karena lapar. Bagaimana tidak, ia sarapan hanya dibekali ubi jalar atau singkong. Syukur-syukur kalau ada pisang, ditambah dengan segelas kopi pahit atau air hangat.
Di tengah perjalanan, mereka tak jarang memetik buah liar, seperti jambu, nangka muda, atau apapun yang bisa dikunyah untuk menahan lapar.
Sementara, anak-anak lain yang mungkin beruntung, ketika sampai di rumah sudah disiapkan sajian menu makan siang oleh orang tuanya.
Namun berbeda jauh dengan Radit. Sesampainya di rumah, Radit sering mendapati rumah kosong. Kedua orang tuanya pergi ke kebun, membawa serta adik-adiknya. Periuk nasi sering tak terisi. Kalau beruntung, ada pisang mentah. Kalau tidak, perut tetap kosong sampai sore.
Namun pernah pula, kakaknya memasak bagian dalam batang pisang, hanya dicampur garam, dimakan seperti itu. Dan anehnya, ia menikmatinya karena tidak ada pilihan lain. Hidup adalah perjuangan, dan Radit sudah tahu itu sejak ia bisa berjalan.
Ya, baju seragam sekolah yang masih terpakai bukanlah penghalang bagi Radit dan kakaknya. Di tengah perjalanan hidup yang keras, mereka telah belajar bahwa rasa lapar jauh lebih menyakitkan daripada cemoohan teman sekelas atau cubitan guru. Seragam yang lusuh, penuh tambalan, bahkan kotor karena peluh dan debu perjalanan pulang, itu semua tak sebanding dengan suara perut kosong yang memanggil.
Bab 4: Bergantung pada Bayangan Sang Kakak
Waktu tak pernah berhenti, dan Radit pun terus melangkah. Setelah lulus dari Sekolah Dasar, ia melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi, SMP. Namun, masa ini bukan sekadar tentang pelajaran baru. Ini adalah masa ketika Radit harus berpisah dengan satu-satunya sosok yang membuatnya merasa kuat. Yakni, kakaknya.
Sekolah yang ia masuki menerapkan sistem asrama. Jauh dari rumah, jauh dari pelukan ibu, dan jauh dari suara ayah yang membangunkannya setiap pagi. Radit merasa asing. Sunyi. Tapi tak lama, kabar gembira datang. Kakaknya menyusul masuk sekolah yang sama, walau berbeda kelas. Kakaknya menjadi kakak kelas, sekaligus pelindung yang hadir kembali dalam hidup Radit.
Radit tahu, ia terlalu bergantung pada kakaknya. Namun, bagi Radit, itu bukan hal yang memalukan. Kakaknya bukan hanya saudara. Dia adalah teman satu ranjang di masa kecil, pelindung di sekolah, dan tempat berbagi di saat dunia terasa sempit. Ketergantungan itu seperti tambatan perahu di dermaga, menahan Radit agar tidak hanyut terlalu jauh dalam kesunyian.
Namun, seiring berjalannya waktu, tambatan itu harus dilepas. Dan Radit mulai merasakan dinginnya dunia tanpa kakaknya di sisi.
Dari semua tantangan yang ia hadapi, ada satu yang paling berat adalah kelaparan. Bukan kelaparan sesekali, tapi lapar yang nyaris menjadi sahabat harian. Radit sering tak bisa makan sebelum dan sesudah sekolah. Bukan karena tak mau, tapi karena memang tidak ada yang bisa dimakan.
Setiap minggu, ia dibekali 3 kilogram beras dari kampung. Jumlah itu idealnya cukup untuk satu orang selama seminggu. Itu pun kalau porsinya kecil. Tapi Radit adalah remaja, sedang dalam masa tumbuh. Sekali makan, ia bisa menghabiskan satu gelas beras, bahkan lebih. Maka tak heran, beras yang ia bawa sering habis sebelum waktunya.
Waktu terus bergulir, dan seperti alur sungai yang tak bisa dibendung, hidup terus memaksa Radit untuk mengalir ke arah yang tak selalu ia pilih.
Kakaknya, sosok yang selama ini menjadi tiang penyangga semangatnya, akhirnya lulus dari SMP Bea Muring, sekolah yang cukup ternama di wilayah mereka. Kakaknya lulus dengan kepala tegak dan senyum bangga. Tapi tidak dengan Radit.
Bab 5 : Langkah Radit Terhenti
Entah apa yang ada di pikiran Radit. Dia memutuskan untuk berhenti sekolah di kelas 2 SMP. Bukan karena tak mampu mengikuti pelajaran. Bukan pula karena kenakalan atau masalah disiplin. Tapi karena ada kekosongan yang tak terlihat oleh guru-guru di sekolah. Namun, ketergantungan emosional yang dalam pada sang kakak.
Orang tuanya tidak tinggal diam. Mereka mencoba membangkitkan semangat anak laki-lakinya itu, membujuknya agar melanjutkan pendidikan di sekolah lain. Dengan berat hati, Radit pun setuju pindah sekolah.
Namun, dunia memang tak selalu ramah pada anak seperti Radit. Sebagai murid baru yang datang dari keluarga sederhana, ia membawa serta semua kekurangannya. Pakaian seadanya. Bekal yang tak selalu ada. Wajah yang mulai muram oleh tekanan batin. Ia merasa tak layak berada di antara teman-teman baru yang tampak lebih baik, lebih ceria, lebih punya segalanya.
Hingga akhirnya, menjelang ujian akhir kelas 3 SMP, Radit memilih mundur.
Ia tak datang.
Ia tak ikut ujian.
Ia berhenti. Lagi.
Bab 6: Di Antara Ladang dan Harapan yang Rapuh
Setelah tak lagi duduk di bangku sekolah, Radit memilih jalan hidup yang sudah biasa ia lihat sejak kecil, kebun dan tanah. Ia lebih sering membantu orang tuanya berkebun, bekerja dalam sistem random, kerja lepas tanpa kontrak, yang upahnya hanya cukup untuk makan sehari atau dua hari.
Sementara itu, kakaknya yang satu tingkat di atasnya, yang selama ini jadi panutan, melanjutkan pendidikan ke bangku SMK. Ia adalah anak laki-laki pertama dalam keluarga setelah dua kakak perempuan—anak "papa ngasang", istilah kampung bagi anak kebanggaan ayah. Citra diri sang ayah seolah diwariskan penuh padanya.
Namun hidup tak pernah benar-benar linear. Banyak liku dan kerikil menghambat jalan si kakak. Meskipun semangatnya menyala, nasib berkata lain. Keterbatasan ekonomi keluarga menjadi palu godam yang perlahan meruntuhkan mimpi yang sudah dibangun. Uang sekolah menumpuk jadi utang. Orang tua mereka kewalahan. Dan akhirnya, seperti cerita yang berulang dalam keluarga itu, sekolah kakaknya pun kandas.
Sementara Radit, menolak menyerah, tapi juga belum menemukan tempat nyaman. Ia mencoba berbagai hal.
Kerja proyek bangunan, meski tubuhnya belum sekuat para tukang. Memelihara ayam dan kambing, meski hasilnya belum tentu. Berjualan tembakau lintingan, daun sirih, kapur, pinang hingga barang-barang kecil yang biasa dijual dari pasar ke pasar. Bahkan pernah mencoba peruntungan dengan menjual ikan keliling kampung.
Akan tetapi, itu tidak membuatnya nyaman dan berpikir masa depan yang penuh rintangan. Setelah melewati itu semua, ia akhirnya memutuskan untuk merantau. Babak baru dimulai.
(bersambung ----- )
Pemekaran Desa Ujang Fatimah dan Binusan Menuju Final, PMD Nunukan: Masih Konsultasi ke Kemendagri |
![]() |
---|
Komplotan Pencuri Sawit di Perusahaan Sebuku Terbongkar, 3 Karyawan dan 1 Warga Dibekuk Polisi |
![]() |
---|
52 Tahun Keberadaan Trakindo di Tarakan, Serap Tenaga Kerja dan Jadikan SDN 014 Sekolah Binaan |
![]() |
---|
Tingkatkan Produktivitas Pertanian Lewat Perkebunan Agrokomples, Distan Harap Petani Panen Tiap Saat |
![]() |
---|
81 Koperasi Merah Putih di Desa dan Kelurahan se-Kabupaten Bulungan Diluncurkan, Ini Kata Bupati |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.