Berita Tarakan Terkini

Ratusan Koleksi Buku di Perpustakaan Pribadi Milik KH Zainuddin Dalila Terbakar: Itu Sumber Ilmu

Di rumah milik KH Zainuddin Dalila yang terbakar di Tarakan Kalimantan Utara terdapat perpustakan pribadi dengan ratusan koleksi buku.

Penulis: Andi Pausiah | Editor: Junisah
TRIBUNKALTARA.COM/ ANDI PAUSIAH
PASRAH DAN IKHLAS - KH Zainuddin Dalila saat diwawancarai TribunKaltara.com di kediaman keluarganya, letaknya tak jauh dari lomasi TKP kebakaran di RT 6 Kelurahan Sebengkok, Tarakan Kalimantan Utara pekan kemarin. 

TRIBUNKALTARA.COM, TARAKAN- SaksiKata-Eksklusif- Salah satu korban kebakaran yang terjadi pada Minggu (26/10/2025) pukul 13.30 Wita, di Kelurahan Sebengkok, Tarakan Kalimantan Utara adalah KH Zainuddin Dalila yang merupakan tokoh masyarakat.

Kini rumah tinggal milik KH Zainuddin Dalila hanya tersisa puing-puing kayu yang menjadi arang bekas kebakaran hebat. Diketahui rumah yang dibangun 32 tahun silam usianya, hangus dalam waktu 15 hingga 20 menit oleh api yang menyambar dari rumah tetangganya.

“Kalau Tuhan Berkehendak. Begitu cepat Tuhan mengambil harta benda yang dititipkan ke manusia. Kalau Tuhan punya mau,” kata KH Zainuddin Dalila, mengawali wawancaranya bersama media TribunKaltara.com dalam Program Saksi Kata Tribunnews.

Di wajahnya tak ada gurat sedih terpancar. Namun air matanya yang sesekali mengalir dari kelopak, tak bisa membohongi, seorang KH Zainuddin Dalila juga hanyalah manusia biasa. Bisa merasa kehilangan saat ditimpa musibah. 

Baca juga: Hanya Tersisa Pakaian dan Sarung di Badan, Rumah dan Kios KH Zainuddin Dalila Hangus tak Tersisa

Yang disayangkan adalah, sejumlah buku kesayangan yang sudah ia kumpulkan, ia koleksi dalam waktu yang panjang, ikut lenyap tak tersisa. Beberapa buku koleksinya sudah sulit didapatkan pun demikian, hangus di dalam perpustakaan pribadi yang ia buat.  Apalagi, ratusan buku itu yang menemaninya berkarier. 

Bukan karena harta, yang jika ditaksir mungkin ada ratusan juta nilai rumah yang ia bangun dari bentuk gubuk dan perlahan berlantai dua. Air matanya tak bisa dibendung, saat mengingat akan betapa banyaknya, mungkin ada ratusan judul buku kesayangan yang menjadi koleksi pribadinya, ikut habis dilalap api di siang naas saat itu.

Hikmah yang bisa ia pelajari dari musibah kebakaran menimpanya, menurut  KH Zainuddin Dalila, adalah belajar ikhlas melepaskan. 

Ia yang kala itu memakai kemeja berwarna putih, lengkap dengan kopiahnya, sembari duduk santai kembali kembali mengulas bagaimana kronologi kejadian kebakaran yang terjadi pada Minggu (26/10/2025) kemarin.

Perkiraan kejadian terjadi pada pukul 13.30 WITA. Ternyata pada saat kejadian, ia sedang pergi membeli pisang. Karena kata KH Zainuddin Dalila, ia selalu mengonsumsi pisang. 

“Saya setiap hari makan pisang. Jadi, begitu sampai di rumah,  saya lihat di rumah yang duluan terbakar itu, di sebelah kanan rumah saya,  saya lihat sudah besar asap,” kata pria yang akrab disppa pak Kiyai ini.

“Jadi kebakaran bukan dari rumah saya, tapi di sebelah. Di situ mulai muncul sudah asap. Jadi, saya taruh saya punya pisang, saya masuk ke rumah itu. Sekalinya, masuk di situ, tidak bisa lagi, sudah banyak asap. Sudah susah kita bernafas. Saya keluar kembali.  Terus masuk di rumah saya, langsung saya ke belakang karena agak tinggi supaya saya bisa lihat dari mana asal api,” ungkap Bapak Kiyai.

Baca juga: Breaking News Tiga Rumah di Tarakan Hanguss Terbakar, Salah Satu Milik Ketua FKUB Zainuddin Dalila

Di saat yang sama ternyata api sudah mulai muncul dari rumah sumber asap. Ia bergegas turun ke lantai satu, dalam kondisi panik tak bisa berpikir jernih. 

“Saya tidak bisa apa-apa karena tidak mungkin saya menyelamatkan itu. Jadi saya turun, ada anak-anak yang menarik saya dari bawah, turun, saya keluar saja. Saya keluar, pegang istri saya. Kami tidak banyak, cuma di situ langsung ada kursi, nonton saja. Tidak ada apa-apa yang bisa saya bawa. Karena tidak ada pikiran lagi untuk mengambil apa, kira-kira mau diambil begitu banyak,” ungkapnya mengingat kejadian.

Yang berat ia lepas karena ia ternyata punya perpustakaan pribadi. 
Ia sudah tak bisa mengingat persis jumlah buku dalam perpustakaannya. Dan itu semua habis terbakar. 

“Sisa-sisa bakarannya itu dikumpulkan di sini, mungkin sekitar 6 karung. Itu kami galikan tanah saja, karena tidak mungkin dibuang ke TPA,” akunya.

Seingatnya cukup banyak buku termasuk berisi ayat Alquran.  Seperti buku Tafsir Al-Azhar, karangan Imam, Karangan Buya Hamka seingatnya ia lengkap memiliki 30 buku. Bukunya semua tebal-tebal halamannya. Karena buku itu berisi tafsir.

“Kemudian ada buku-buku Al-Hamka, ada juga Tafsir Ibnu Qasir, itu juga 30 buku, besar-besar. Itu semua habis terbakar. Dan buku-buku yang lain. Itu buku-buku  kalau di sini barangkali tidak lengkap dijual, mesti kita harus cari. Kalau di Jakarta, saya tahu tempat belinya itu, Toko Buku Wali Songo kalau misalnya. Saya selalu ke situ cari buku-buku kalau lagi keluar Kaltara,” ungkap KH Zainuddin Dalila.

Seingatnya, Tafsir Ibnu Qasir itu tidak sekaligus ia dapatkan 30 buku. Pertama ada yang ia bawa 5 buku. Kemudian menyusul buku lainnya. Dan ini sudah 35 tahun ia mulai kumpulkan. Tentu ada nilai history baginya. Apalagi ada beberapa buku, ditandatangani langsung almarhum Ustaz Arifin Ilham. 

PENDINGINAN - Tiga rumah hangus terbakar dan dua rumah terdampak dalam insiden kebakaran di RT 6 Kelurahan Sebengkok Kota Tarakan, Minggu (26/10/2025). TRIBUNKALTARA.COM/ANDI PAUSIAH
PENDINGINAN - Tiga rumah hangus terbakar dan dua rumah terdampak dalam insiden kebakaran di RT 6 Kelurahan Sebengkok Kota Tarakan, Minggu (26/10/2025). TRIBUNKALTARA.COM/ANDI PAUSIAH (TRIBUNKALTARA.COM/ANDI PAUSIAH)

“Saya lupa judul bukunya, saya dikasih beliay dan ada tanda tangannya. Itu buku-buku Imam Al-Ghazali, itu dikasih  langsung oleh Ustaz Arifin Ilham sebagai hadiah. Itu yang sulit diulang, maud dicari dimana lagi, mungkin buku masih bisa dicari tapi tandatangan beliau sudah tidak bisa,” kenangnya.

Itu yang membuat ia harus menyiapkan hati yang lapang, luas dan sabar serta ikhlas melepaskan. Pun begitu juga catatan harian. Catatan harian itu sudah ia tulis sejak lama. Misalnya saat berangkat untuk suatu tujuan, ia pasti tulis kegiatannya. 

“Saya berangkat tanggal sekian ke sini, lalu hikmah apa yang saya dapat, itu mau saya tulis. Di dalam lemari saya simpan. Dan itu habis juga. Itu juga jadi catatan perjalanan saya selama saya jadi Ustaz. Iya. Iya, tapi habis semua. Nah sekarang kadang saya tidak ingat, kalau ada catatan itu saya buka baru ingat, oh saya pernah ke Manado, saya pernah ke Bali mengunjungi ini, itu,” ungkapnya terkekeh. 

Kini semua bukunya telah lenyap. Habis tak tersisa. Padahal perpustakaan pribadinya ia buat semenjak ia sudah ditunjuk sebagai Ketua MUI Kaltara sejak 10 tahun terakhir.  Perlahan ia mulai mengumpulkan buku-buku berisi pengetahuan. 

Buku-buku itu juga jadi acuan baginya atau jadi rujukan ketika mendapatkan pertanyaan. Katakanlah fenomena gerhana, semua ada dijelaskan dalam buku-buku yang ia miliki. Karen ajika ingin menghapal semua tentu mustahil baginya. 

Sehingga keberadaan buku itu sangat penting baginya. Arti buku baginya adalah, buku adalah mahaguru. Seorang jika ingin maju, harus memiliki buku, harus memiliki rujukan, harus memiliki kitab.

Ilmu saja katanya tak cukup. Untuk menyampaikan sesuatu juga harus ada dasar dan dalil.  Sehingga, bukulah yang menjadi pegangan. Apalagi Islam juga mengutamakan buku. Alquran juga ia ulas kembali, pertama kali turun, ayat pertama yang disampaikan adalah Iqra. 

“Artinya bacalah. Dengan membaca, kita bisa tahu keadaan. Dengan membaca, kita tahu situasi alam dunia ini. Kita tahu kalau kita membaca itu. Kalau kita tidak membaca, bahkan ada ya para ulama yang mengatakan, kalau andai kata tidak ada lagi ayat yang lain, lima ayat ini cukup lah untuk kita pakai mengatur alam ini,” ungkapnya.

Kembali mengulas perjalanan membangun rumah yang sempat ia tinggali sebelum dijadikan kios dan gudang penyimpanan barang dan beras.  Rumah itu ia bangun di tahun 1987 silam. Artinya kurang lebih 35 tahun ia bangun rumah itu.  Awal dibangun pun bertahap. 

Awal membangun rumah, bahan kayu Ulin dibeli di Jembatan Besi. Ia sendiri yang menarik gerobaknya. Saat itu, harga kayu ulin masih murah dan mudah didapat. Rp110 ribu satu kubik seingatnya.

“Jadi saya beli. Masuk ke sana, saya tarik sendiri gerobaknya. Saya cangkul sendiri itu lahannya. Kalau ada orang lewat nanya, pak mau bikin apa? Saya bilang bikin pondok-pondok,” kenangnya.

Waktu itu, di kiri kanan rumah belum banyak bangunan rumah dan gedung. Hanya ada beberapa toko lama di sana yang berdiri. Dalam perjalanan membangun, ada saja orang baik datang membawa bantuan misalnya 30 lembar seng, kemudian ada yang membantu setengah kubik kayu. 

“Banyak yang datang membantu karena kebetulan di pinggir jalan kan.  Jadi kalau ada orang lewat, teman saya tanya, ini mau bangun pondok-pondok. Terus dia bilang nanti dia kasih 10 lembar papan. Begitulah sampai jadi pondok. Jadi tidak langsung bertingkat rumah,” ungkap KH Zainuddin Dalila

Di awal membangun ia juga memang merancang agar nantinya bisa menambah sampai dua lantai.  Kemudian perlahan ia tinggali dan kurang lebih 5 tahun berdiri, perlahan ia bangun lantai dua. Bisa dikatakan rumah miliknya adalah salah satu rumah lama yang dibangun atau rumah yang sudah cukup tua di Tarakan.

Baca juga: 3 Rumah di Tarakan Terbakar, Damkar Butuh Dua Jam Pendinginan, Pemadam Libur Ikut Dikerahkan 

Ia sendiri bisa sampai di Tarakan karena mendapat penugasan dari Pesantren Al-Khairat Palu. Pesantren itu setara level SMA. Kemudian merantaulah ia ke Tarakan mengajar di Pondok Pesantren Al-Khairat. Saat itu SMA Al-Khairat belum dibangun. 

“ Sekarang ada sudah SMA-nya. Kalau dulu apa itu saya ngajar di Ibtidaiyah atau SD. Kemudian saya diangkat jadi kepala Tsanawiyah setingkat SMP. Itu mulai dari tahun 90. Kalau yang SD-nyadari  tahun 1980 sampai 1990. Kemudian berjalannya waktu tahun 1987 dibangun lah itu rumah. Kemudian masuk tahun 1990 SMP ya, saya diangkat jadi kepala SMP sampai tahun 1993,” ungkapnya.

Selanjutnya saat itu mulai dibangun SMA Al-Khairat dan mulailah ia juga mengajar di sekolah tersebut.  Kurang lebih 5 tahun mengabdi, keluar peraturan pemerintah bahwa untuk jadi kepala SMA itu harus sarjana. 

“Saya ini kasihan kan cuma sama lulusan pesantren setingkat SMA. Jadi saat itu diganti, kepala SMA yang sarjana memimpin, itulah sampai sekarang mereka mengajar. Tapi saya tetap mengajar, mengajar sebagai tenaga pengajar  sampai tahun 1998,” ungkap pria kelahiran 1 Januari tahun 1952 ini.

Selepas pensiun mengajar, ia mulai membuka usaha. Mulai membuka kios. Kemudian juga ia aktif di kegiatan-kegiatan kemasyarakatan. Ia juga bergabung di Baznas Tarakan selama 10 tahun.

Seingatnya tahun  2015 ia bergabung. Kemudian sebagai Ketua MUI Kaltara juga demikian kurang lebih 15 tahun ia bergabung. Kini ia telah purna per November 2024 kemarin. Namun saat ini ia masih aktif sebagai Ketua FKUB Kota Tarakan.

“Kalau saya dulu gabung di MUI, saya waktu itu jadi pengurus MUI, masih hidup para ustaz-ustaz yang senior. Kalau saya sudah 15 tahun gabung di MUI Kaltara, tapi sebagai Ketua MUI itu sekitar 10 tahun. Tinggal hitung mundur saya berakhir di 2024 kemarin,” ungkapnya. 

Terakhir berbicara kerugian, ia perkirakan rumahnya bisa sampai Rp300 juta. Di antaranya karena cukup banyak sembako jualan, uang tunai yang belum sempat ia ambil kurang lebih Rp10 juta dan juga beras yang baru saja sehari sebelumnya datang dari gudang Bulog.

"Untuk buku saja mungkin harganya Rp150 jutaan karena ada ratusan itu," akunya.

Terakhir ia mengungkapkan, Tuhan punya kuasa dan kehendak. Hanya dalam waktu 15 menit habis tak tersisa. Padahal dibangunnya 35 tahun

Ia hanya bisa memandangi rumahnya terbakar kala itu. Sembari terduduk. Tak bisa berucap banyak. Apalagi berteriak. Ia sadar betul, itu semua dipinjamkan Allah.

" Dia mau ambil silakan. Saya juga masih punya banyak teman. Karena teman juga itu bagian dari harta kita. Sampai hari ini banyak yang datang memberikan bantuan, dukungan, doa. Termasuk juga teman-teman FKUB, bapak pendeta dan lainnya," paparnya.

Hikmah dari kejadian kemarin kata K.H. Zainuddin Dalila, semua yang ada di dunia ini hanyalah sementara, hanyalah bentuk pinjaman yang sewaktu-waktu akan diambil kembali oleh Tuhan. Hanya bisa berpasrah dan berserah lanjutnya.

"Kita pasrahkan saja. Cuma saya selalu doa, karena engkau yang uji ya Allah, maka beri aku kekuatan untuk menghadapinya. Begitu saja doa saya. Sayaa ikhlas. Tidak ada sedikitpun merasa kehilangan," pungkasnya.

(*)

Penulis: Andi Pausiah

 

Sumber: Tribun Kaltara
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved