Berita Nunukan Terkini
Kisruh Lahan Belum Ada Titik Terang, DPRD Nunukan Janji Mediasi Masyarakat Adat dan Perusahaan Sawit
Kekisruhan lahan masyarakat adat Dayak Agabag dengan salah satu perusahaan sawit di Kecamatan Sebuku, Kabupaten Nunukan, masih menggantung
Penulis: Febrianus Felis | Editor: Amiruddin
TRIBUNKALTARA.COM, NUNUKAN - Kekisruhan lahan masyarakat adat Dayak Agabag dengan salah satu perusahaan sawit di Kecamatan Sebuku, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara masih menggantung.
Pasalnya, rapat dengar pendapat yang digelar DPRD Nunukan bersama aliansi masyarakat adat Dayak Agabag pada Kamis (11/02/2021), lalu belum ada tindak lanjut lagi.
Hal itu diungkapkan oleh Muryono yang tergabung dalam aliansi masyarakat adat Dayak Agabag Kabupaten Nunukan.
Baca juga: Asmin Laura-Hanafiah Jadi Bupati & Wakil Bupati Nunukan Terpilih, Parpol Pengusung Komitmen Mengawal
Baca juga: Ditetapkan Jadi Wakil Bupati Nunukan Dampingi Asmin Laura, Hanafiah: Tak Ada Lagi Kubu-kubu
Baca juga: Tanpa Kehadiran Asmin Laura, Hanafiah Hadir Rapat Pleno Penetapan Bupati dan Wabup Nunukan Sendirian
"Belum lagi ada tindak lanjut dari DPRD Nunukan setelah rapat dengar pendapat setelah sepekan lebih," kata Muryono kepada TribunKaltara.com, melalui telepon seluler, Sabtu (20/02/2021), pukul 13.30 Wita.
Informasi yang dihimpun, sebagian lahan yang mereka tempati saat ini berada dalam konsesi HGU perusahaan. Hal itu sudah terjadi sejak lama.
Namun yang membuat masyarakat adat Dayak Agabag tidak terima, lantaran 17 orang masyarakat adat Dayak Agabag dilaporkan oleh manajemen perusahaan kepada polisi atas dugaan pencurian sawit milik perusahaan.
Hingga saat ini, 5 dari 17 orang tersebut masih berstatus tersangka setelah melalui serangkaian penyelidikan di Polres Nunukan.
Masyarakat adat yang lahannya masuk dalam konsesi HGU PT KHL yaitu sebanyak 5 desa. Terdiri dari Desa Tetaban, Desa Bebanas, Desa melasu Baru, Desa Sojau, dan Desa Lulu.
Ketua Komisi I DPRD Nunukan, Andi Krislina, mengatakan pihaknya akan menjadwalkan kembali mediasi antara masyarakat adat Dayak Agabag dengan manajemen perusahaan bersama Pemerintah Daerah Nunukan.
Mengingat saat ini DPRD Nunukan disibukkan dengan kegiatan Musrembang tingkat kecamatan.
"Seminggu yang lalu, kami sudah undang masyarakat adat untuk rapat dengar pendapat. Waktu itu hanya dengar aspirasi masyarakat adat saja, karena pada saat rapat pihak perusahaan tidak ada. Kita akan carikan waktu yang pas lagi, karena DPRD lagi Musrembang di tingkat kecamatan," ucap wanita yang akrab disapa Krislina itu.
Menurut Krislina, pihaknya sempat menghubungi manajemen perusahaan tersebut, namun belum bisa memenuhi undangan untuk duduk bersama.
"Kami sempat hubungi perusahaan tapi pihaknya juga lagi tidak di tempat. Humasnya lagi ada kegiatan di Tarakan, jadi sama-sama tidak memungkinkan untuk duduk bersama. Sehingga masih menunggu kesiapan perusahaan dikonekkan dengan waktu kosong di DPRD," ujarnya.
Legislator fraksi PKS itu, menjawab pihaknya tak ada kewenangan apapun perihal 17 orang masyarakat adat yang dilaporkan ke Polres Nunukan atas dugaan mencuri sawit.
"Soal status tersangka 17 orang masyarakat adat bukan wewenang kami di DPRD. Kami hanya bisa fasilitasi mediasi antara perusahaan dan masyarakat adat. Tidak bisa mengeluarkan keputusan yang dijadikan dasar untuk melegitimasi soal status tersangka. Orang yang melaporkan harus cabut tuntutan sehingga kita mediasi dulu itu kuncinya," tuturnya.
Di akhir komentarnya, Krislina beberkan duduk persoalan masyarakat adat Dayak Agabag Kabupaten Nunukan grudug DPRD Nunukan sepekan lalu.
Dia menjelaskan, manajemen perusahaan melaporkan masyarakat adat yang memanen sawit di atas kawasan HGU perusahaan.
"Sehingga perusahaan melaporkan kepada Polisi atas dugaan pencurian. Perusahaan klaim bahwa kelapa sawit berada di atas kawasan HGU mereka," ungkapnya.
Lanjut Krislina, hal berbeda yang dijelaskan masyarakat adat. Mereka mengakui tanaman kelapa sawit berada di atas kawasan HGU perusahaan.
Kendati begitu, pasca sawit ditanam, mengenai pemeliharaan dan sebagainya dilakukan oleh masyarakat adat.
"Itu dasar mereka berani memanen sawit di situ. Itupun sudah berlangsung lama. Hanya saja baru terjadi pelaporan," imbuhnya.
Baca juga: BREAKING NEWS, Puluhan Polisi Siaga Jelang Penetapan Bupati dan Wakil Bupati Nunukan Terpilih
Baca juga: UPDATE Tambah 3, Kasus Covid-19 Nunukan jadi 1.026, 1 Import dari DKI Jakarta & 2 Transmisi Lokal
Baca juga: Danlanal Nunukan Letkol Laut Nonot Eko Febrianto Beber Alasan Speed Boat Sering Masuk Jalur Malaysia
Tak hanya itu, sikap kurangnya perhatian dari manajemen perusahaan kepada masyarakat adat, untuk melibatkan mereka bekerja di perusahaan, menjadikan mereka bak orang asing di tanah adat mereka sendiri.
"Tidak berjalan kemitraan yang sebagaimana yang ada dalam aturan Bupati. Perusahaan wajib membina dan melakukan kemitraan dengan masyarakat adat maupun masyarakat umum di sekitar perusahaan. Betul kawasan hutan itu ada izin HGU perusahaan, tapi tanah yang ada izin HGU itu adalah tanah adat masyarakat di situ. Itu yang kita mau dapatkan klarifikasi dari perusahaan," imbuhnya.
Dari informasi yang dihimpun dengan masyarakat adat, luas lahan mereka yang masuk dalam HGU PT KHL mulai dari 2 Ha, 3 Ha, 1,5 Ha, bahkan juga 5 Ha.
Hingga berita ini diturunkan, jurnalis TribunKaltara.com, masih berupaya melakukan konfirmasi kepada pihak perusahaan yang dimaksud.
(*)
Penulis: Febrianus felis