Bisnis Pakaian Impor Bekas

Kata Mereka: Pakaian Bekas Impor Harga Miring, Brand Lokal Tidak Kalah Bersaing

Keberadaan pakaian bekas impor tak bisa terwujud jika tak ada permintaan pasar, seperti hukum ekonomi adanya barang karena adanya permintaan.

Penulis: Andi Pausiah | Editor: Sumarsono
Tribunnews.com
Sejumlah pembeli tengah memilih pakaian seken impor yang dijual di salah satu pasar di Jakarta. Penjualan pakaian bekas saat ini menjadi pembicaraan publik paska Presiden Joko Widodo mengeluarkan instruksi melarang impor pakaian bekas dari luar negeri. 

TRIBUNKALTARA.COM – Jika menelisik bisnis pakaian bekas impor di Tarakan, Kalimantan Utara ternyata sudah ada sejak tahun 1990-an.

Peredaran pakaian bekas impor ini bermula dari pasar-pasar dadakan di Kelurahan Pamusian, Karang Anyar dan berlanjut membuka kios, hingga menjadi rumah toko (ruko).

Keberadaan pakaian bekas impor tak bisa terwujud jika tak ada permintaan pasar, seperti hukum ekonomi adanya barang karena adanya permintaan.

Pun begitu juga yang terjadi di Tarakan, penikmat pakaian bekas impor ternyata cukup banyak.

Terbukti dari ratusan pcs yang habis terjualkan oleh para pelaku usaha thrift atau bisnis pakaian bekas impor.

TribunKaltara.com melakukan survei kecil dengan mewawancarai 17 warga Tarakan sebagai responden.

Hasilnya, 8  orang menyatakan menyenangi pakaian brand luar negeri seken dengan harga lebih murah. Sedangkan 9 orang lagi lebih menyukai memakai pakaian brand lokal karya anak bangsa.

Meski demikian, dari 17 orang yang diwawancarai, 7 orang menjawab tidak setuju, dan 8 orang menjawab setuju. Sisanya 1 orang menjawab dilema, dan satu orang lagi tidak menjawab.

Baca juga: Pedagang Pakaian Bekas Impor Berharap Dilegalkan: Sudah Puluhan Tahun Kami Makan dari Usaha Ini!

Alasan mereka yang setuju dilegalkan dengan alasan mempertimbangkan keberlangsungan pendapatan pelaku usaha yang berdampak pada perputaran ekonomi.

Selain ditanya soal setuju atau tidak ballpres dilegalkan, para responden juga memberikan alasan mengapa lebih senang membeli pakaian bekas impor brand luar negeri.

Dari sisi penikmat, tercatat 10 orang lebih menyukai brand lokal, dan sisanya 10 orang menyukai brand internasional seken.

Salah seorang responden Asri, warga Kelurahan Gunung Lingkas Kota Tarakan mengakui lebih menyukai brand lokal untuk produk T-Shirt.

Saat ini T-Shirt brand lokal memiliki kualitas bahan tak jauh beda dengan seken impor begitu juga desainnya menarik.

Ia mengakui untuk T-Shirt kebanyakan kaos polo seperti Screamous, 3second, C59.

pakaian bekas senin
Aktivitas perdagangan pakaian bekas impor di kawasan Pasar Senin, Jakarta. Instruksi Presiden terkait larangan impor barang bekas menuai pro dan kontra di masyarakat, khususnya pelaku usaha penjual pakaian bekas impor.

Meski demikian, ia juga masih memiliki koleksi seken seperti Nike, sebab harga baru dan seken menurutnya jomplang.

Ia juga menyampaikan pendapatnya setuju atau tidak pakaian impor bekas dilegalkan, khususnya di wilayah Kaltara, ia setuju saja.

“Karena di Kaltara, produk seken sudah ada sejak 90-an. Kedua, ada pilihan alternatif warga. Ketiga, produk tertentu memiliki harga lebih dikit murah. 

Sisi minus seken impor adalah menambah limbah fashion.  Perlu diketahui, bukan seken impor lawannya UMKM, tapi produk Cina.

Kedua, bahan baku berkualitas susah didapatkan di Indonesia apalagi Kaltara,” terang pria yang juga memiliki bisnis sablon ini.

Selain Asri, ada Jeki, sama pendapatanya lebih menyukai brand lokal. Karena harganya lebih ekonomis dari brand seken. Dari sisi kualitasnya lokal juga saat ini sangat baik.

“Tapi ada juga produk seken, sepatu 60 persen lokal. Kalau ditanya setuju dilegalkan, setuju saja jika memang brand second banyak diminati dan tentu masuknya melalui pengawasan ketat dan dikenakan pajak,” tegas pria beralamat di Kelurahan Kampung Satu ini.

Baca juga: Membongkar Jalur Impor Pakaian Bekas Ilegal dari Malaysia via Jalan Tikus Perbatasan Kaltara

Selain Jeki, ada juga Arpan, warga Tana Tidung.  Ia mengakui lebih menyukai brand lokal dengan alasan harga dan kualitas terjangkau.

Hal sama diungkapkan Anca, warga asal Sebatik, Kabupaten Nunukan.  Ia tegas menjawab lebih menyukai brand lokal.

Alasannya karena brand lokal juga  tidak kalah bersaing dari segi kualitas dan bentuk. Pun begitu juga corak dari produk lokal juga penuh kreatifitas.

“Cenderung  setiap kreativitas bentuk dan sebagainya memiliki makna tersendiri dari produk lokal yang dikeluarkan atau pasarkan. Saya pribadi lebih senang pada produk lokal”

Anca, pria lulusan alumni Universitas Borneo Tarakan.

Ia menyebutkan brand lokal yang ia miliki saat ini ada berbagai jenis, di antaranya produk Eiger,  Consina, Arei, Kartenz, Kalibre, Erigo dan 3 Second.

Saat ditanya mengenai apakah ballpres seharusnya dilegalkan, ia kembali tegas menjawab tidak setuju. 

Alasannya, selain pakaian bekas dilarang oleh Undang-Undang tentang Perdagangan, pakaian bekas juga tidak terjamin dari segi kebersihan dan sebagainya.

“Selain itu juga pakaian bekas bisa mengganggu pasar produk lokal dalam negeri yang bisa merugikan berbagai banyak pihak termasuk negara,” tegasnya.

Ayuning, pekerja yang sehari-hari menghabiskan waktunya di kantor BUMN ini turut menyampaikan pendapatnya.

Ia pribadi lebih menyukai brand lokal namun untuk produk barang impor bekas, ia lebih menyukai jenis sepatu bermerek dan bukan pakaian.

Untuk brand lokal pakaian dan sepatu sekarang lanjut Ayu, sapaan akrabnya, memiliki banyak pilihan dan kualitasnya juga bagus.

“Di rumah ada Haide Orlin, Myrubylicious, Atala, Heavenlight, Ventela, Eiger, Femme, Asoka, Umama, NSA, Geulis, Mytyvori, Minamira.id, Privatto, Jiniso, Khans, Bata. Kalau seken bermerek ada sepatu Adidas dan Vans,” terangnya.

Bea Cukai Nunukan mengamankan beberapa karung berisi pakaian bekas yang didatangkan dari Malaysia. Bea Cukai menegaskan impor pakaian bekas dilarang.
Bea Cukai Nunukan mengamankan beberapa karung berisi pakaian bekas yang didatangkan dari Malaysia. Bea Cukai menegaskan impor pakaian bekas dilarang. (HO)

Komentarnya mengenai setuju atau tidak ballpres dilegalkan, ia pada dasarnya mengembalikan pada pasar yang ada saat ini.

“Daripada kucing-kucingan, toh memang ada pasarnya. Merek lokal juga sudah punya pasarnya sendiri baiknya dibuatkan saja aturan legalnya tentu dengan cukai,” urainya.

Hal sama diungkapkan Amelia, mahasiswi yang saat ini berdomisili di Makassar dan menjalani kuliah di Universitas Alaudin Kota Makassar.

Ia menyebutkan bisnis pakaian bekas impor juga sudah ada di Makassar. Harganya ternyata kurang lebih sama dengan di Tarakan.

Meski demikian, ia pribadi lebih menyukai brand lokal. Karena jika memakai produk lokal, sama saja mendukung dan membantu produsen untuk semakin dikenal dan akhirnya memiliki banyak permintaan.

Dengan meningkatnya permintaan produk, maka para pelaku usaha lokal seperti UMKM memiliki peluang lebih untuk mengembangkan bisnisnya.

“Brand lokal saat ini tidak kalah kualitasnya dibandingkan dengan produk luar negeri yang bermerek terkenal.

Saya punya koleksi Jiniso, yaitu celana jeans-nya yang sangat cocok saya pakai untuk hangout maupun nongkrong.

Ada juga produk Berrybenka, sepatu flatshoes-nya yang sangat nyaman saya pakai sepanjang hari dan paling sering saya pakai ke kampus,” ungkap Amelia.

Selain itu ia juga memiliki Erigo, T-shirt dari Erigo yang terbuat dari katun memiliki bahan berkualitas tinggi sangat nyaman digunakan sehari-hari. 

Untuk hoodie, ada produk Second, yang memiliki tampilan yang keren dan cocok dipakai baik perempuan dan laki-laki.

“Saya juga pakai juga brand 3second ini sudah go internasional yang membuktikan bahwa brand lokal juga mampu bersaing dengan produk luar negeri,” ungkap Amelia.

Baca juga: Dilarang Diimpor, Kepala Kanwil Bea Cukai Jelaskan Bahaya dan Efek Samping Pakaian Bekas

Sehingga jelas lanjut Amelia, ketika ditanya setuju atau tidak produk pakaian impor bekas dilegalkan, ia sangat tidak setuju.

Alasannya karena pakaian bekas itu berpotensi membawa penyakit kulit dan kutu yang tidak terlihat oleh kasat mata dan tentu sangat tidak baik untuk kesehatan masyarakat.

Responden lainnya, mewakili dunia pendidikan, Agus, berprofesi sebagai guru saat ini turut mengutarakan pendapatnya.

Secara pribadi ia menyukai brand lokal dan tidak menyukai barang seken. Di rumahnya ia memiliki merek Eiger dan Kalibre.

“Saya tidak pernah punya barang seken, jadi tidak setuju juga kalua minta dilegalkan ballpresnya,” tegasnya.

Ia menyebutkan harga merek Eiger dan Kalibre untuk tas dan baju rerata di atas Rp 100 ribuan. Meski demikian ia menyukai kualitasnya.

Setelah berpendapat lebih menyenangi brand lokal, ada juga beberapa responden menjawab dengan pasti, lebih menyukai kualitas pakaian seken impor.

Seperti diakui Iwa, warga Kabupaten Bulungan, Provinsi Kalimantan Utara. Ia sehari-hari bekerja menggunakan pakaian seken yang ia beli hasil berburu saat ke Sebatik, Kabupaten Nunukan beberapa tahun lalu.

Menurutnya di Sebatik, harga pakaian seken lebih murah ada di kisaran satu ringgit atau dirupiahkan sekitar Rp 3.500 saja per lembar.

Sehingga ini cukup menggoda kantongnya dan akhirnya banyak ia bungkus ke Bulungan.

“Celana yang saya pakai sehari-hari hanya ada beberapa saja brand lokal, sisanya seken haha,” ungkapnya tertawa.

Meski demikian ia memang tak menampik ada kekhawatira menggunakan produk seken impor sehingga sebelum menggunakan, ia cuci bersih direndam menggunakan air panas lalu dicuci menggunakan detergen.

Namun ia mengakui, jika ia ke Tarakan ataupun di Bulungan, ia lebih memilih brand lokal mengingat di Tarakan misalnya sudah banyak ruko khusus menjual produk lokal.

Alasannya tidak mencari seken di Tarakan karena harganya dinilai relative tinggi.

"Kalau sedang ke Nunukan atau Sebatik, saya pilih seken karena harga bersahabat. Di sana bebas memilih karena banyak pilihan, baik itu sepatu maupun baju, celana. Saya punya  Nike, Reebok, Converse harganya lumayan murah."

Iwa, warga Bulungan

Sementara saat ditanya apakah sebaiknya produk pakaian bekas impor bisa dilegalkan, ia juga sulit menjawab. “Cukup dilema kalau jawab ini,” ujarnya.

Selain Iwa, ada Anti, warga Kelurhan Karang Harapan. Ditanya mengenai lebih memilih produk lokal atau seken, ia mantap menjawab produk seken.

Alasannya selain kualitas yang mumpuni harga jauh lebih terjangkau. Hampir sama dengan brand lokal bahkan ada juga  harga berada di bawah harga brand lokal.  (*)

Penulis: Andi Pausiah

Sumber: Tribun Kaltara
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved