Langkah Kecil Kaki Radit di Kampung yang tak Menyimpan Langit

Namanya Radit, bukan anak orang yang punya banyak harta. Meskipun dilahirkan dalam keterbatasan, semangatnya membara.

Meta AI
ILUSTRASI - Seorang bocah miskin berjalan di sawah. Foto dibuat Meta AI untuk keperluan publikasi TribunKaltara.com, Rabu (16/4/2025). 

Langkah Kecil Kaki Radit di Kampung yang Tak Menyimpan Langit
Novel karya: Marthin


Bab 1: Lahir dari Tanah yang Jauh

Namanya Raditya. Tapi orang-orang lebih senang memanggilnya Radit, sebuah panggilan akrab yang melekat sejak ia bisa mengingat namanya sendiri. Ia dilahirkan dari cinta dua insan yang sederhana, Sultan dan Sari. Bukan keluarga bangsawan, bukan pula orang yang punya banyak harta. Justru sebaliknya, keluarga Radit dikenal sebagai salah satu yang paling pas-pasan di desanya.

Desa itu jauh. Bahkan sangat jauh. Orang-orang harus menempuh perjalanan panjang, melewati jalan berliku dan berbatu, dengan biaya transportasi yang tak bisa dibilang murah. Tapi bagi Radit, itu bukan penghalang. Itu adalah rumah.

Ia adalah anak keempat dari tujuh bersaudara. Di rumah papan yang sudah lapuk dimakan usia, tangis bayi silih berganti menyambut pagi. Kehangatan bukan datang dari kemewahan, melainkan dari pelukan ibu, atau suara tawa kecil yang muncul meski perut keroncongan.

Meskipun dilahirkan dalam keterbatasan, semangatnya membara. Tak terlihat, memang, tapi terasa. Ibarat api dalam sekam. Diam, namun terus menyala. Radit selalu ingin tahu, selalu ingin mencoba hal-hal baru, seakan tak ingin kalah oleh nasib.

“Kalau bisa memilih, aku mungkin tak ingin lahir ke dunia ini,” ucap Radit suatu kali dalam hatinya.

Tapi itu hanya sepintas pikirannya. Sebab dalam hati kecilnya, ia tahu hidup bagaimanapun harus dijalani dan dihadapi. Namanya masa lalu itu sebuah kenangan, hanya bisa diramu. Kepalanya yang bulat, dengan tingkat berpikir dewasa yang di atas rata-rata, dia percaya masa depan akan lebih baik dibandingkan dari keluarga di mana dia dilahirkan. 

Sebagai anak yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, Radit sangat bersyukur karena telah hadir ke dunia lewat keluarga yang sederhana itu. Hari-hari dia lewati, sedari kecil hingga bertumbuh dan berkembang layaknya orang pada umumnya. 

Semasa kecil, dia kebanyakan menghabiskan waktu bermain. Tapi bedanya dengan anak-anak lain dengan latar belakang ekonomi mampu, tempat bermainnya beda, seperti sepeda atau motor listrik, jump sport, kolam renang, dan beragam fasilitas lainnya.

Radit bukan anak yang manja. Sejak kecil, dia sudah terbiasa dengan keringat dan tanah. Lumpur bukanlah kotoran, melainkan bagian dari mainannya sehari-hari. Ia membantu orang tuanya di sawah, memetik kopi di kebun, atau mencari kayu bakar. Tangannya kasar sejak usia dini, tapi hatinya lembut dan penuh impian.

Seiring berjalanya waktu, Radit terus bertumbuh dan berkembang. Lambat laun, dia merasa kasih sayang itu mulai memudar lantaran ada adiknya yang baru dilahirkan juga ke dunia, mengikuti jejaknya. Berlanjut sampai ke anak yang bungsu.

Bab 2: Sekolah dengan Sandal Jepit

Ketika usianya cukup, Radit pun didaftarkan ke salah satu sekolah dasar di kampung itu. Sekolah itu berdiri sederhana, dengan bangunan kayu yang catnya mulai mengelupas. Hari pertama sekolah adalah hari yang campur aduk, antara semangat dan rasa malu. 

Kekurangan demi kekurangan ia melihat dari lingkungan tempatnya bersekolah. Anak-anak lain datang dengan seragam baru, putih bersih, harum, rapi, dan sepatu hitam yang masih berkilau. Alas kakinya, menggunakan sepatu baru, kelihatan dari modelnya yang mengkilat serta dibungkus kaus, yang belakangan ia tahu itu namanya kaus kaki. 

Halaman
1234
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved