Langkah Kecil Kaki Radit di Kampung yang tak Menyimpan Langit

Namanya Radit, bukan anak orang yang punya banyak harta. Meskipun dilahirkan dalam keterbatasan, semangatnya membara.

Meta AI
ILUSTRASI - Seorang bocah miskin berjalan di sawah. Foto dibuat Meta AI untuk keperluan publikasi TribunKaltara.com, Rabu (16/4/2025). 

Orang tuanya tidak tinggal diam. Mereka mencoba membangkitkan semangat anak laki-lakinya itu, membujuknya agar melanjutkan pendidikan di sekolah lain. Dengan berat hati, Radit pun setuju pindah sekolah.

Namun, dunia memang tak selalu ramah pada anak seperti Radit. Sebagai murid baru yang datang dari keluarga sederhana, ia membawa serta semua kekurangannya. Pakaian seadanya. Bekal yang tak selalu ada. Wajah yang mulai muram oleh tekanan batin. Ia merasa tak layak berada di antara teman-teman baru yang tampak lebih baik, lebih ceria, lebih punya segalanya.

Hingga akhirnya, menjelang ujian akhir kelas 3 SMP, Radit memilih mundur.
Ia tak datang. 
Ia tak ikut ujian. 
Ia berhenti. Lagi.

Bab 6: Di Antara Ladang dan Harapan yang Rapuh

Setelah tak lagi duduk di bangku sekolah, Radit memilih jalan hidup yang sudah biasa ia lihat sejak kecil, kebun dan tanah. Ia lebih sering membantu orang tuanya berkebun, bekerja dalam sistem random, kerja lepas tanpa kontrak, yang upahnya hanya cukup untuk makan sehari atau dua hari.

Sementara itu, kakaknya yang satu tingkat di atasnya, yang selama ini jadi panutan, melanjutkan pendidikan ke bangku SMK. Ia adalah anak laki-laki pertama dalam keluarga setelah dua kakak perempuan—anak "papa ngasang", istilah kampung bagi anak kebanggaan ayah. Citra diri sang ayah seolah diwariskan penuh padanya.

Namun hidup tak pernah benar-benar linear. Banyak liku dan kerikil menghambat jalan si kakak. Meskipun semangatnya menyala, nasib berkata lain. Keterbatasan ekonomi keluarga menjadi palu godam yang perlahan meruntuhkan mimpi yang sudah dibangun. Uang sekolah menumpuk jadi utang. Orang tua mereka kewalahan. Dan akhirnya, seperti cerita yang berulang dalam keluarga itu, sekolah kakaknya pun kandas.

Sementara Radit, menolak menyerah, tapi juga belum menemukan tempat nyaman. Ia mencoba berbagai hal. 
Kerja proyek bangunan, meski tubuhnya belum sekuat para tukang. Memelihara ayam dan kambing, meski hasilnya belum tentu. Berjualan tembakau lintingan, daun sirih, kapur, pinang hingga barang-barang kecil yang biasa dijual dari pasar ke pasar. Bahkan pernah mencoba peruntungan dengan menjual ikan keliling kampung.

Akan tetapi, itu tidak membuatnya nyaman dan berpikir masa depan yang penuh rintangan. Setelah melewati itu semua, ia akhirnya memutuskan untuk merantau. Babak baru dimulai. 


(bersambung ----- ) 

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved