Langkah Kecil Kaki Radit di Kampung yang tak Menyimpan Langit

Namanya Radit, bukan anak orang yang punya banyak harta. Meskipun dilahirkan dalam keterbatasan, semangatnya membara.

Meta AI
ILUSTRASI - Seorang bocah miskin berjalan di sawah. Foto dibuat Meta AI untuk keperluan publikasi TribunKaltara.com, Rabu (16/4/2025). 

Sementara, anak-anak lain yang mungkin beruntung, ketika sampai di rumah sudah disiapkan sajian menu makan siang oleh orang tuanya. 

Namun berbeda jauh dengan Radit. Sesampainya di rumah, Radit sering mendapati rumah kosong. Kedua orang tuanya pergi ke kebun, membawa serta adik-adiknya. Periuk nasi sering tak terisi. Kalau beruntung, ada pisang mentah. Kalau tidak, perut tetap kosong sampai sore.

Namun pernah pula, kakaknya memasak bagian dalam batang pisang, hanya dicampur garam, dimakan seperti itu. Dan anehnya, ia menikmatinya karena tidak ada pilihan lain. Hidup adalah perjuangan, dan Radit sudah tahu itu sejak ia bisa berjalan.

Ya, baju seragam sekolah yang masih terpakai bukanlah penghalang bagi Radit dan kakaknya. Di tengah perjalanan hidup yang keras, mereka telah belajar bahwa rasa lapar jauh lebih menyakitkan daripada cemoohan teman sekelas atau cubitan guru. Seragam yang lusuh, penuh tambalan, bahkan kotor karena peluh dan debu perjalanan pulang, itu semua tak sebanding dengan suara perut kosong yang memanggil.

Bab 4: Bergantung pada Bayangan Sang Kakak

Waktu tak pernah berhenti, dan Radit pun terus melangkah. Setelah lulus dari Sekolah Dasar, ia melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi, SMP. Namun, masa ini bukan sekadar tentang pelajaran baru. Ini adalah masa ketika Radit harus berpisah dengan satu-satunya sosok yang membuatnya merasa kuat. Yakni, kakaknya.

Sekolah yang ia masuki menerapkan sistem asrama. Jauh dari rumah, jauh dari pelukan ibu, dan jauh dari suara ayah yang membangunkannya setiap pagi. Radit merasa asing. Sunyi. Tapi tak lama, kabar gembira datang. Kakaknya menyusul masuk sekolah yang sama, walau berbeda kelas. Kakaknya menjadi kakak kelas, sekaligus pelindung yang hadir kembali dalam hidup Radit.

Radit tahu, ia terlalu bergantung pada kakaknya. Namun, bagi Radit, itu bukan hal yang memalukan. Kakaknya bukan hanya saudara. Dia adalah teman satu ranjang di masa kecil, pelindung di sekolah, dan tempat berbagi di saat dunia terasa sempit. Ketergantungan itu seperti tambatan perahu di dermaga, menahan Radit agar tidak hanyut terlalu jauh dalam kesunyian.

Namun, seiring berjalannya waktu, tambatan itu harus dilepas. Dan Radit mulai merasakan dinginnya dunia tanpa kakaknya di sisi.

Dari semua tantangan yang ia hadapi, ada satu yang paling berat adalah kelaparan. Bukan kelaparan sesekali, tapi lapar yang nyaris menjadi sahabat harian. Radit sering tak bisa makan sebelum dan sesudah sekolah. Bukan karena tak mau, tapi karena memang tidak ada yang bisa dimakan.

Setiap minggu, ia dibekali 3 kilogram beras dari kampung. Jumlah itu idealnya cukup untuk satu orang selama seminggu. Itu pun kalau porsinya kecil. Tapi Radit adalah remaja, sedang dalam masa tumbuh. Sekali makan, ia bisa menghabiskan satu gelas beras, bahkan lebih. Maka tak heran, beras yang ia bawa sering habis sebelum waktunya.

Waktu terus bergulir, dan seperti alur sungai yang tak bisa dibendung, hidup terus memaksa Radit untuk mengalir ke arah yang tak selalu ia pilih.

Kakaknya, sosok yang selama ini menjadi tiang penyangga semangatnya, akhirnya lulus dari SMP Bea Muring, sekolah yang cukup ternama di wilayah mereka. Kakaknya lulus dengan kepala tegak dan senyum bangga. Tapi tidak dengan Radit.

Bab 5 : Langkah Radit Terhenti

Entah apa yang ada di pikiran Radit. Dia memutuskan untuk berhenti sekolah di kelas 2 SMP. Bukan karena tak mampu mengikuti pelajaran. Bukan pula karena kenakalan atau masalah disiplin. Tapi karena ada kekosongan yang tak terlihat oleh guru-guru di sekolah. Namun, ketergantungan emosional yang dalam pada sang kakak.

Halaman
1234
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved