Langkah Kecil Kaki Radit di Kampung yang tak Menyimpan Langit

Namanya Radit, bukan anak orang yang punya banyak harta. Meskipun dilahirkan dalam keterbatasan, semangatnya membara.

Meta AI
ILUSTRASI - Seorang bocah miskin berjalan di sawah. Foto dibuat Meta AI untuk keperluan publikasi TribunKaltara.com, Rabu (16/4/2025). 

Radit datang dengan baju warisan kakaknya. Seragam tambal sulam, dengan warna kain yang tak serasi. Hal itu menimbulkan rasa minder dalam diri Radit minder, karena tampil beda dan cenderung konyol dibandingkan yang lain. Sandal Jepit kusam yang juga peninggalan sang kakak meski masih kelihatan layak untuk digunakan. 

Kontras. Pemandangan itu sangat terlihat dan hari-harinya ia lewati dengan pemandangan yang kian hari, semakin menghantui perasaan dan mentalnya. Meski dia tidak sendirian, tapi kalau terlihat secara mayoritas, pakaian yang ia kenakan cenderung dialah yang di bawah rata-rata. 

Radit tahu dia berbeda. Ia bukan anak yang tak bisa berpikir. Ia tahu, karena tiap kali ia masuk kelas, ada tatapan mata yang mengarah ke bajunya. Ada suara tawa kecil yang ia dengar, walau kadang pura-pura tak peduli. Ada ejekan yang mengendap di kepala meski telah berlalu berminggu-minggu.

Ia belajar menyendiri. Bukan karena ia tak ingin berteman, tapi karena perasaan rendah diri lebih kuat dari keberanian untuk mendekat.

“Bukan salahku dilahirkan miskin,” pikir Radit.
”Tapi aku tak bisa menyalahkan siapa-siapa juga.” lanjutnya. 

Dilahirkan dari keluarga dengan ekonomi lemah, diakuinya tidaklah enak. Pahit manis semua ditelan, tapi kebanyakan pahitnya. 

Hingga akhirnya Radit menyadari kekurangan yang ia rasakan tidak hanya dari segi berpakaian, tapi juga dari segi kebutuhan makanan, yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Boro-boro berbicara susu, untuk mencari sesuap nasi saja sulitnya minta ampun. 

Bahkan, saat pulang sekolah yang biasanya pada pukul 12.00 Wita, Radit harus menempuh jalan kaki sejauh kurang lebih 5 kilometer. Sama halnya, sebelum berangkat sekolah. Tiap harinya, pada pukul 06.40 Wita, biasanya sudah sarapan dan siap-siap langsung meluncur berangkat ke sekolah

Ada pepatah mengatakan lebih cepat lebih baik, supaya tidak terlambat. Karena, kalau terlambat sudah menjadi makanan para guru untuk mencubit, mencibir, membentak hingga memukul murid. Padahal, mereka terlambat bukan karena kemauan sendiri, tapi karena jarak tempuh dari kampung ke sekolah yang begitu jauh.

Tapi tetap saja, itu bukanlah sebuah alasan bagi guru dan tetap memukul, menghina dan mencaci-maki muridnya. Didikan di sekolahnya memang terkenal keras. Hal itu pula yang menempa mentalnya hingga sekuat baja. 

Pendidikan di sekolahnya juga tak jauh berbeda dengan sekolah zaman sekarang dengan memberikan ilmu kepada anak didik sebagai amanat UU yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Tapi perlu dicatat, kecerdasan itu idealnya seirama dengan kebutuhan sandang, papan dan pangan. Namun, sayang sekali tidak bagi Radit.

Bab 3: Lapar dan Pelajaran Hidup

Lonceng sekolah berdentang pukul 12.00 Wita. Anak-anak kelas 1,2, dan 3 biasanya pulang lebih awal. Sementara, kakak mereka yang duduk di kelas 4,5 dan 6 SD itu pulang lebih lambat. Biasanya mereka pulang kurang lebih pukul 13.15 Wita ataupun hingga pukul 13.30 Wita. 

Namun, itu bukanlah inti masalahnya. Radit yang baru duduk di bangku SD kelas 1 ini bersama teman-temannya harus pulang menyusuri jalan setapak yang panas, debu naik, peluh menetes. Mereka harus rela berjalan kaki sejauh 3 kilometer dengan keadaan perut kosong karena lapar. Bagaimana tidak, ia sarapan hanya dibekali ubi jalar atau singkong. Syukur-syukur kalau ada pisang, ditambah dengan segelas kopi pahit atau air hangat.

Di tengah perjalanan, mereka tak jarang memetik buah liar, seperti jambu, nangka muda, atau apapun yang bisa dikunyah untuk menahan lapar.

Halaman
1234
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved