Berita Tarakan Terkini

Ratusan Koleksi Buku di Perpustakaan Pribadi Milik KH Zainuddin Dalila Terbakar: Itu Sumber Ilmu

Di rumah milik KH Zainuddin Dalila yang terbakar di Tarakan Kalimantan Utara terdapat perpustakan pribadi dengan ratusan koleksi buku.

Penulis: Andi Pausiah | Editor: Junisah
TRIBUNKALTARA.COM/ ANDI PAUSIAH
PASRAH DAN IKHLAS - KH Zainuddin Dalila saat diwawancarai TribunKaltara.com di kediaman keluarganya, letaknya tak jauh dari lomasi TKP kebakaran di RT 6 Kelurahan Sebengkok, Tarakan Kalimantan Utara pekan kemarin. 

Seingatnya cukup banyak buku termasuk berisi ayat Alquran.  Seperti buku Tafsir Al-Azhar, karangan Imam, Karangan Buya Hamka seingatnya ia lengkap memiliki 30 buku. Bukunya semua tebal-tebal halamannya. Karena buku itu berisi tafsir.

“Kemudian ada buku-buku Al-Hamka, ada juga Tafsir Ibnu Qasir, itu juga 30 buku, besar-besar. Itu semua habis terbakar. Dan buku-buku yang lain. Itu buku-buku  kalau di sini barangkali tidak lengkap dijual, mesti kita harus cari. Kalau di Jakarta, saya tahu tempat belinya itu, Toko Buku Wali Songo kalau misalnya. Saya selalu ke situ cari buku-buku kalau lagi keluar Kaltara,” ungkap KH Zainuddin Dalila.

Seingatnya, Tafsir Ibnu Qasir itu tidak sekaligus ia dapatkan 30 buku. Pertama ada yang ia bawa 5 buku. Kemudian menyusul buku lainnya. Dan ini sudah 35 tahun ia mulai kumpulkan. Tentu ada nilai history baginya. Apalagi ada beberapa buku, ditandatangani langsung almarhum Ustaz Arifin Ilham. 

PENDINGINAN - Tiga rumah hangus terbakar dan dua rumah terdampak dalam insiden kebakaran di RT 6 Kelurahan Sebengkok Kota Tarakan, Minggu (26/10/2025). TRIBUNKALTARA.COM/ANDI PAUSIAH
PENDINGINAN - Tiga rumah hangus terbakar dan dua rumah terdampak dalam insiden kebakaran di RT 6 Kelurahan Sebengkok Kota Tarakan, Minggu (26/10/2025). TRIBUNKALTARA.COM/ANDI PAUSIAH (TRIBUNKALTARA.COM/ANDI PAUSIAH)

“Saya lupa judul bukunya, saya dikasih beliay dan ada tanda tangannya. Itu buku-buku Imam Al-Ghazali, itu dikasih  langsung oleh Ustaz Arifin Ilham sebagai hadiah. Itu yang sulit diulang, maud dicari dimana lagi, mungkin buku masih bisa dicari tapi tandatangan beliau sudah tidak bisa,” kenangnya.

Itu yang membuat ia harus menyiapkan hati yang lapang, luas dan sabar serta ikhlas melepaskan. Pun begitu juga catatan harian. Catatan harian itu sudah ia tulis sejak lama. Misalnya saat berangkat untuk suatu tujuan, ia pasti tulis kegiatannya. 

“Saya berangkat tanggal sekian ke sini, lalu hikmah apa yang saya dapat, itu mau saya tulis. Di dalam lemari saya simpan. Dan itu habis juga. Itu juga jadi catatan perjalanan saya selama saya jadi Ustaz. Iya. Iya, tapi habis semua. Nah sekarang kadang saya tidak ingat, kalau ada catatan itu saya buka baru ingat, oh saya pernah ke Manado, saya pernah ke Bali mengunjungi ini, itu,” ungkapnya terkekeh. 

Kini semua bukunya telah lenyap. Habis tak tersisa. Padahal perpustakaan pribadinya ia buat semenjak ia sudah ditunjuk sebagai Ketua MUI Kaltara sejak 10 tahun terakhir.  Perlahan ia mulai mengumpulkan buku-buku berisi pengetahuan. 

Buku-buku itu juga jadi acuan baginya atau jadi rujukan ketika mendapatkan pertanyaan. Katakanlah fenomena gerhana, semua ada dijelaskan dalam buku-buku yang ia miliki. Karen ajika ingin menghapal semua tentu mustahil baginya. 

Sehingga keberadaan buku itu sangat penting baginya. Arti buku baginya adalah, buku adalah mahaguru. Seorang jika ingin maju, harus memiliki buku, harus memiliki rujukan, harus memiliki kitab.

Ilmu saja katanya tak cukup. Untuk menyampaikan sesuatu juga harus ada dasar dan dalil.  Sehingga, bukulah yang menjadi pegangan. Apalagi Islam juga mengutamakan buku. Alquran juga ia ulas kembali, pertama kali turun, ayat pertama yang disampaikan adalah Iqra. 

“Artinya bacalah. Dengan membaca, kita bisa tahu keadaan. Dengan membaca, kita tahu situasi alam dunia ini. Kita tahu kalau kita membaca itu. Kalau kita tidak membaca, bahkan ada ya para ulama yang mengatakan, kalau andai kata tidak ada lagi ayat yang lain, lima ayat ini cukup lah untuk kita pakai mengatur alam ini,” ungkapnya.

Kembali mengulas perjalanan membangun rumah yang sempat ia tinggali sebelum dijadikan kios dan gudang penyimpanan barang dan beras.  Rumah itu ia bangun di tahun 1987 silam. Artinya kurang lebih 35 tahun ia bangun rumah itu.  Awal dibangun pun bertahap. 

Awal membangun rumah, bahan kayu Ulin dibeli di Jembatan Besi. Ia sendiri yang menarik gerobaknya. Saat itu, harga kayu ulin masih murah dan mudah didapat. Rp110 ribu satu kubik seingatnya.

“Jadi saya beli. Masuk ke sana, saya tarik sendiri gerobaknya. Saya cangkul sendiri itu lahannya. Kalau ada orang lewat nanya, pak mau bikin apa? Saya bilang bikin pondok-pondok,” kenangnya.

Waktu itu, di kiri kanan rumah belum banyak bangunan rumah dan gedung. Hanya ada beberapa toko lama di sana yang berdiri. Dalam perjalanan membangun, ada saja orang baik datang membawa bantuan misalnya 30 lembar seng, kemudian ada yang membantu setengah kubik kayu. 

Sumber: Tribun Kaltara
Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved