Merokok di Indonesia: Ancaman Besar bagi Kesehatan dan Ekonomi Bangsa

Tanpa pengendalian tembakau yang tegas, beban kesehatan akibat merokok diprediksi melampaui penerimaan cukainya sebelum 2030.

TribunKaltara.com/Cornel Dimas Satrio K
ILUSTRASI - Rokok. 

Ringkasan Berita:Isu dampak konsumsi tembakau terhadap kesehatan dan ekonomi di Indonesia berdasarkan studi Global Burden of Disease (GBD)
(by Rahmansyah, Mahasiswa Universitas Indonesia Maju Porgram Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat NPM 20240000126)

 

TRIBUNKALTARA.COM - Indonesia kini tengah menghadapi epidemi rokok yang mengkhawatirkan, tercermin dari prevalensi perokok yang menempati posisi tertinggi di Asia Tenggara. Berdasarkan data Global Burden of Disease (GBD) terbaru, konsumsi tembakau masih menjadi penyebab utama kematian dan penyakit tidak menular utama seperti penyakit jantung, kanker paru, serta stroke.

Lebih dari 268.000 kematian tahunan yang berhubungan langsung dengan tembakau, ini bukan hanya persoalan kesehatan saja, tetapi juga ancaman serius bagi stabilitas sosial dan ekonomi nasional. 

Krisis Kesehatan Akibat Tembakau

Tingginya prevalensi perokok, yang mencapai lebih dari 70 persen pada pria dewasa, menunjukkan tantangan besar bagi upaya peningkatan kualitas kesehatan masyarakat.

Hasil studi GBD merefleksikan fakta mengerikan: lebih dari 8 juta tahun hidup produktif hilang setiap tahunnya akibat penyakit yang terkait dengan konsumsi rokok.

Kelompok usia produktif antara 35 hingga 59 tahun merupakan yang paling terdampak, artinya beban penyakit ini menggerogoti sumber daya manusia produktif yang seharusnya menjadi penopang kemajuan bangsa.

Penyakit utama yang diakibatkan oleh konsumsi tembakau seperti jantung iskemik, stroke, dan kanker paru tidak hanya menyebabkan kematian dini, tetapi juga meningkatkan angka disabilitas akibat komplikasi kronis, yang secara kumulatif meningkatkan kebutuhan perawatan kesehatan jangka panjang.

Data GBD mencatat terjadi peningkatan beban disabilitas dan kehilangan tahun sehat (DALYs) akibat rokok hingga hampir 22 persen dalam tiga dekade terakhir, menjadikan tembakau faktor risiko utama kedua yang menyebabkan kematian dini setelah hipertensi.

Dampak Sosial dan Ketimpangan

Tidak hanya persoalan kesehatan, rokok juga memperburuk ketimpangan sosial-ekonomi di Indonesia. Lebih dari 70 rumah tangga miskin mengalokasikan pendapatannya untuk membeli tembakau, yang seharusnya bisa digunakan untuk kebutuhan vital seperti pangan dan pendidikan. Ini memperbesar lingkaran kemiskinan dan menurunkan kualitas hidup generasi mendatang.

Pengeluaran besar untuk membeli rokok juga berkontribusi terhadap penurunan gizi anak dan peningkatan stunting di kalangan keluarga berpendapatan rendah. Ketimpangan ini memperdalam permasalahan sosial yang sudah kompleks, sekaligus menurunkan kapasitas pembangunan sumber daya manusia nasional.

Beban Ekonomi yang Mengkhawatirkan

Secara ekonomi, pendapatan dari cukai rokok memang signifikan—menyumbang lebih dari Rp 213 triliun ke kas negara. Namun, kerugian akibat dampak kesehatan jauh melampaui angka tersebut. Studi menunjukkan bahwa biaya pengobatan penyakit terkait rokok mencapai triliunan rupiah setiap tahun, belum termasuk biaya tidak langsung akibat kehilangan produktivitas tenaga kerja.

Secara kumulatif, kerugian ekonomi akibat rokok diperkirakan mencapai Rp 431 triliun hingga Rp 600 triliun per tahun, setara dengan sekitar 3,5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. 

Peningkatan prevalensi perokok juga memperparah defisit sistem jaminan kesehatan nasional (JKN), meningkatkan klaim biaya pengobatan penyakit kronis.

Studi fiskal dari Kementerian Keuangan memperingatkan bahwa tanpa kenaikan cukai yang signifikan, beban kesehatan masyarakat akibat rokok akan melampaui penerimaan cukai hingga tahun 2030, menciptakan dampak fiskal negatif bagi negara.

Baca juga: 30 Pantun Bahaya Rokok, Sindiran Menohok biar Cepat Sadar, Unggah di Medsos

Langkah Strategis yang Mendesak

Indonesia membutuhkan kebijakan pengendalian tembakau yang lebih keras dan komprehensif. Kebijakan yang sudah mulai diterapkan seperti Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2024, yang membatasi iklan rokok, melarang penjualan eceran, dan menaikkan batas usia pembelian, merupakan langkah awal yang baik.

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

BERSAMA RAMADAN DI ERA DIGITAL

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved