Bisnis Pakaian Impor Bekas

Kata Mereka: Pakaian Bekas Impor Harga Miring, Brand Lokal Tidak Kalah Bersaing

Keberadaan pakaian bekas impor tak bisa terwujud jika tak ada permintaan pasar, seperti hukum ekonomi adanya barang karena adanya permintaan.

Penulis: Andi Pausiah | Editor: Sumarsono
Tribunnews.com
Sejumlah pembeli tengah memilih pakaian seken impor yang dijual di salah satu pasar di Jakarta. Penjualan pakaian bekas saat ini menjadi pembicaraan publik paska Presiden Joko Widodo mengeluarkan instruksi melarang impor pakaian bekas dari luar negeri. 

“Saya juga pakai juga brand 3second ini sudah go internasional yang membuktikan bahwa brand lokal juga mampu bersaing dengan produk luar negeri,” ungkap Amelia.

Baca juga: Dilarang Diimpor, Kepala Kanwil Bea Cukai Jelaskan Bahaya dan Efek Samping Pakaian Bekas

Sehingga jelas lanjut Amelia, ketika ditanya setuju atau tidak produk pakaian impor bekas dilegalkan, ia sangat tidak setuju.

Alasannya karena pakaian bekas itu berpotensi membawa penyakit kulit dan kutu yang tidak terlihat oleh kasat mata dan tentu sangat tidak baik untuk kesehatan masyarakat.

Responden lainnya, mewakili dunia pendidikan, Agus, berprofesi sebagai guru saat ini turut mengutarakan pendapatnya.

Secara pribadi ia menyukai brand lokal dan tidak menyukai barang seken. Di rumahnya ia memiliki merek Eiger dan Kalibre.

“Saya tidak pernah punya barang seken, jadi tidak setuju juga kalua minta dilegalkan ballpresnya,” tegasnya.

Ia menyebutkan harga merek Eiger dan Kalibre untuk tas dan baju rerata di atas Rp 100 ribuan. Meski demikian ia menyukai kualitasnya.

Setelah berpendapat lebih menyenangi brand lokal, ada juga beberapa responden menjawab dengan pasti, lebih menyukai kualitas pakaian seken impor.

Seperti diakui Iwa, warga Kabupaten Bulungan, Provinsi Kalimantan Utara. Ia sehari-hari bekerja menggunakan pakaian seken yang ia beli hasil berburu saat ke Sebatik, Kabupaten Nunukan beberapa tahun lalu.

Menurutnya di Sebatik, harga pakaian seken lebih murah ada di kisaran satu ringgit atau dirupiahkan sekitar Rp 3.500 saja per lembar.

Sehingga ini cukup menggoda kantongnya dan akhirnya banyak ia bungkus ke Bulungan.

“Celana yang saya pakai sehari-hari hanya ada beberapa saja brand lokal, sisanya seken haha,” ungkapnya tertawa.

Meski demikian ia memang tak menampik ada kekhawatira menggunakan produk seken impor sehingga sebelum menggunakan, ia cuci bersih direndam menggunakan air panas lalu dicuci menggunakan detergen.

Namun ia mengakui, jika ia ke Tarakan ataupun di Bulungan, ia lebih memilih brand lokal mengingat di Tarakan misalnya sudah banyak ruko khusus menjual produk lokal.

Alasannya tidak mencari seken di Tarakan karena harganya dinilai relative tinggi.

"Kalau sedang ke Nunukan atau Sebatik, saya pilih seken karena harga bersahabat. Di sana bebas memilih karena banyak pilihan, baik itu sepatu maupun baju, celana. Saya punya  Nike, Reebok, Converse harganya lumayan murah."

Iwa, warga Bulungan

Sementara saat ditanya apakah sebaiknya produk pakaian bekas impor bisa dilegalkan, ia juga sulit menjawab. “Cukup dilema kalau jawab ini,” ujarnya.

Selain Iwa, ada Anti, warga Kelurhan Karang Harapan. Ditanya mengenai lebih memilih produk lokal atau seken, ia mantap menjawab produk seken.

Alasannya selain kualitas yang mumpuni harga jauh lebih terjangkau. Hampir sama dengan brand lokal bahkan ada juga  harga berada di bawah harga brand lokal.  (*)

Penulis: Andi Pausiah

Sumber: Tribun Kaltara
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved