Opini

Waspadai Efek Berantai Kelangkaan Kayu di Kalimantan Utara

Dua pekan terakhir Kaltara dihangatkan dengan diskusi masalah kayu. Informasi beredar, sedang ada upaya penertiban dan penegakan regulasi perkayuan.

|
Editor: Sumarsono
HO
DR Margiyono, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Borneo Tarakan 

Oleh: Dr Margiyono, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Borneo Tarakan

TRIBUNKALTARA.COM - Jangan main kayu.  Risikonya tidak hanya kena getah, namun bisa ketonjok atau kebentur.

Dua pekan terakhir Kalimantan Utara ( Kaltara ) dihangatkan dengan diskusi masalah kayu.  Informasi yang beredar, sedang ada upaya penertiban dan penegakan regulasi perkayuan.

Gejala nampak kayu “menghilang”. tak ayal harga kayu melambung hingga mencapai 700 persen.

Misalnya kayu meranti satu kubik,  sebelumnya sekitar Rp 1,7 juta naik menjadi Rp 7 juta, bahkan ada yang Rp 8 juta.

Tulisan ini mencoba mmbahas dampak ekonomi kelangkaan kayu  serta upaya untuk mengatasinya.

“Ekonomi Kayu” Kalimantan

Secara historis “ekonomi kayu” di Kalimantan sudah menjadi masa lalu. Bahkan sekarang sudah masuk pada perekonomian genarasi keempat.

Pergeserannya dari ekonomi: kayu, bergeser menjadi minyak, kemudian gas dan saat ini batubara.

Kayu menjadi primadona sebelum tahun 90-an. Kejayaan kayu  ditandai oleh menjamurnya industri kayu di sepanjang Sungai Barito, Kapuas, Mahakam. Itu adalah “sejarah” masa lalu.

Baca juga: Atasi Kelangkaan Kayu di Tarakan, Gubernur Kaltara Zainal Paliwang Siapkan Regulasi Kearifan Lokal

Kelangkaan kayu dan kelangkaannya tergambar pada struktur ekonomi Kalimantan yang tidak lagi besar.

Meskipun Masih menjadi paru-paru dunia. Kontribusi sektor kehutanan  kecil,  hanya sekitar 4 persen.

Saat ini di dominasi oleh sektor pertambangan.

Kontribusi sektor itu sangat besar. Kalsel lebih 30 persen, Kaltim bahkan lebih 40 persen. Sementara Kaltara hanya mendekati 25 persen.

Gonjang-ganjing kayu dan fenomena kenaikan harga kayu pada saat ini  tidak bisa dipisahkan oleh  kemampuan suplai yang terus menyusut.

Massa aksi saat menyerahkan laporan delapan pengusaha kayu diduga ilegal secara resmi ke Polres Tarakan usai momen orasi menuntut keadilan hukum dan tidak tebang pilih terhadap kasus kayu ilegal di Tarakan, Senin (22/5/2023). 
Massa aksi saat menyerahkan laporan delapan pengusaha kayu diduga ilegal secara resmi ke Polres Tarakan usai momen orasi menuntut keadilan hukum dan tidak tebang pilih terhadap kasus kayu ilegal di Tarakan, Senin (22/5/2023).  (TRIBUNKALTARA.COM / ANDI PAUSIAH)

Hutan alam terus berkurang sementara hutan rakyat belum ada.

 Berbeda dengan  di Pulau Jawa saat ini. Beberapa lahan kosong bahkan sebagian lahan pertanian  kini menjadi hutan kembali.

Pemicunya, para pemilik lahan kerja disektor laian atau daerah lain.

Sehingga lahan yang kosong ditanami kayu dengan tujuan jangka panjang untuk pensiunya nanti.

Sehingga kayu relatif tersedia dengan jumlah yang memadai. Karena itu harganya juga lebih stabil.

Belum lagi, faktor adanya produk pengganti kayu yaitu, gafalum, alumonium, dan metal lainnya, sehingga harga betul-betul terjaga.

Baca juga: Solusi Kelangkaan Kayu, Pengusaha Kayu Ingin Kepastian Hukum dengan Adanya Perda

Meskipun hutan di Kalimantan masih luas, namun hutan rakyat belum ada.

Lahan bekas hutan, jika tidak menjadi kawasan pertambangan dan perkebunan ia sebagai  padang ilalang.

Selain tidak produktis ilalang sangat rawan terhadap kebakaran hutan.

Dampak Berantai Kisruh Perkayuan

Kelangkaan kayu dengan berbagai alasan yang menyertai akan  memiliki dampak berantai.

Tidak hanya kepada naiknya harga dan turunnya daya beli,  akan tetapi juga berdampak terhadap sektor; transportasi, konstruksi dan industri.

Ketiadaan kayu mengakibatkan mobilitas perahu, truk dan pikup  tak lagi punya muatan.

Artinya para pekerja perahu dan sopir pengangkut kayu tidak bekerja dan tidak punya pendapatan.

Kemudian keterkaitannya dengan sektor konstruksi adalah, secara umum saat ini Indonesia Timur sedang seru-serunya membangun fasilitas umum dan infrastruktur.

Baca juga: Pemkot Tarakan Berharap Ada Keputusan Resmi dari Pemprov Kaltara soal Kelangkaan Kayu

Karena itu, konstruksi memilki kontribusi yang besar terhadap PDRB.

 Kontribusi konstruksi di Kaltara adalah lebih tertinggi dibanding empat provinsi yang lain. Kontribusinya mencapai 14 persen lebih.

Kalbar dan Kalteng lebih  9 persen. Kaltim lebih 8 persen. Sementara  Kalsel adalah yang terkecil yaitu  hanya lebih 6 persen.

Hal itu menggambarkan bahwa Kaltara sebagai provinsi yang sedang giat membangun. Maklum Provinsi paling muda.

Artinya dampak dari kelangkaan kayu akan memukul sektor konstrkusi dengan sangat kuat di Kaltara. Dibanding di empat provinsi yang lain.

Secara operasional, mahalnya kayu  akan direspon oleh para pemilik proyek dengan menunda pembangunan.

Kalau pun dipaksa running  maka, para pemilik proyek dan  kontraktor akan mencari solusi dengan menggunakan seminimal mungkin jumlah kayu.

Selain itu juga akan  menggunakan material pengganti kayu.

Artinya bahwa, solusi ini akan menggairahkan industri galvalum, aluminium atau bahan metal lainnya di Jawa.

Namun getahnya akan dialami oleh sektor konstruksi di Kaltara yang akan semakin  tertekan.

Demikian juga sektor industry, baik itu industri kecil atau besar.

Untuk industri  kecil  mebel yang produksi  kusen, daun pintu dan jendela akan terimbas.

Mahalnya kayu mengakibatkan daya beli pengusaha mebel berhenti produksi.

 Dampak ikutannya juga berpotensi mengganggu  industri besar  plywood.

Kita paham bahwa,  industri  plywood  di kota Tarakan  memberikan kontribusi penyerapan tenaga kerja yang sangat signifikan.

Baca juga: BREAKING NEWS Puluhan Pengusaha Kayu di Tarakan Keluhkan Kelangkaan Kayu, Minta Kebijakan Pemerintah

Artinya dampak dari kelangkaan kayu yang tidak terselesaikan dengan cepat  akan berpotensi membentur sektor industri plywood.

Selain memukul sektor  transportasi, konstruksi dan industri   juga akan mengerek harga pengganti kayu.

Artinya akan ada potensi kenaikan harga yang dipengaruhi oleh desakan biaya (cost push inflation) kontruksi.

Hal ini harus diwaspadai karena baru sebulan yang lalu kita di bayang-bayangi oleh kenaikan transportasi dan pangan.

Dipicu oleh even hari raya. Bulan ini mestinya harga  pelan-pelan akan melandai?

Namun siapa nyana, sebulan kemudian (pada minggu ketiga dan empat  Mei 2023 ini)  kita dihadapkan kepada kelangkaan kayu.

Sehingga potensi normalisasi harga pada bulan Mei terganggu.

Renteten pemikiran “pesimistis” ini membutuhkan solusi agar tidak terus  mengerek tingkat inflasi dan menekan pertumbuhan ekonomi.

Untuk itu dalam prespektif  jangka pendek  Pemerintah melalui dinas terkait harus  menjamin ketersediaan kayu.

Tentu kayu yang legal dengan harga terjangkau. Hal itu masih memungkinkan. Karena faktanya  hutan masih tetap ada.

Artinya bukan tidak ada kayu sama sekali.

Baca juga: Bukan di Kepolisian, Polres Tarakan Sebut Perizinan Kayu Bisa Diurus di Dishut Provinsi Kaltara

Untuk mengatasi kayu yang terus langka maka,  ada baiknya dialakukan pengawasan penggunaan kayu. Dapat diterapkan pendekatan “kuota” dengan harga yang wajar. Baik itu berbasis wilayah atau aktor.

Penjelasannya, daerah tertentu dengan aktifitas konstruksi yang tinggi memiliki hak peroleh kuota lebih banyak dibanding yang lain.

Kontraktor atau pengusaha dengan kapasitas lebih besar juga memiliki jatah lebih besar.

Artinya alokasi kayu ditentukan berdasarkan kebutuhan riil.

Dengan begitu pelan-pelan masyarakat akan melakukan penyesuaian dan penghematan. Pendekatan ini menciptakan budaya penggunaan kayu.

Kemudian untuk konteks jangka penjang penting mendorong tumbuhnya  minat pengembangan hutan kerakyatan  yang dikelola oleh masyarakat secara individu atau kelompok.

Strategi: ketersedian segera, kuota dengan harga wajar dan hutan kerakyatan tidak hanya  pro pertumbuhan dan stabilitas harga.

Akan tetapi lebih jauh, juga pro pada kelestarian lingkungan. Semoga (*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

BERSAMA RAMADAN DI ERA DIGITAL

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved