Mata Lokal Memilih

Berkat Gugatan Mahasiswa UIN, MK Hapus Aturan Presidential Threshold: Semua Parpol bisa Usung Capres

Berkat gugatan mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN), Mahkamah Konstisusi (MK) hapus aturan Presidential Threshold, semua parpol bisa usung capres.

Editor: Sumarsono
Kompas.com/Fitria Chusna Farisa
Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menghapus ambang batas atau Presidential Threshold dalam persyaratan pengajuan calon presiden ( Capres ). 

TRIBUNKALTARA.COM, JAKARTA – Berkat gugatan mahasiswa Universitas Islam Negeri ( UIN ) Sunan Kalijaga, Mahkamah Konstisusi (MK) hapus aturan Presidential Threshold, semua parpol bisa usung Capres.

Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menghapus ambang batas atau Presidential Threshold dalam persyaratan pengajuan calon presiden ( Capres ) pada Pilpres 2029 mendatang.

Putusan ini merupakan permohonan dari perkara 62/PUU-XXII/2024, yang diajukan Enika Maya Oktavia dan kawan-kawan mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

"Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua Mahkamah Konstitusi (MK ) Suhartoyo dalam sidang putusan Pengujuan Undang-Undang di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/1).

Dalam aturan sebelumnya, hanya partai politik pemilik kursi 20 persen jumlah kursi DPR atau 25 persen dari suara sah nasional Pemilu Legislatif sebelumnya yang bisa mengajukan Capres dan Cawapres.

MK menyatakan pengusulan Capres dan Cawapres ( Presidential Threshold ) dalam Pasal 222 UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Baca juga: Ini Permintaan Ketua Mahkamah Konstitusi Suhartoyo Sebelum Tangani Sengketa Pilkada 2024

"Menyatakan norma Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," kata Suhartoyo.

Dalam pertimbangan hukumnya, MK menyatakan frasa ‘perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada Pemilu menutup dan menghilangkan hak konstitusional partai politik yang tidak memiliki persentase suara sah nasional atau persentase jumlah kursi DPR.

MK juga menilai penentuan besaran ambang batas itu tidak didasarkan pada penghitungan yang jelas dengan rasionalitas yang kuat.

Inilah akar masalah Anwar Usman dilaporkan lagi ke Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi ( MKMK ).
Inilah akar masalah Anwar Usman dilaporkan lagi ke Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi ( MKMK ). (Kolase TribunKaltara.com/MK)

Satu hal yang dapat dipahami Mahkamah Konstitusi, penentuan besaran atau persentase itu lebih menguntungkan partai politik besar atau setidaknya memberi keuntungan bagi parpol peserta Pemilu yang memiliki kursi di DPR.

MK menyatakan penentuan ambang batas pencalonan pilpres itu punya kecenderungan memiliki benturan kepentingan.

Mahkamah juga menilai pembatasan itu bisa menghilangkan hak politik dan kedaulatan rakyat karena dibatasi dengan tidak tersedianya cukup banyak alternatif pilihan paslon.

Selain itu setelah mempelajari seksama arah pergerakan politik mutakhir Indonesia, MK membaca kecenderungan untuk selalu mengupayakan agar setiap Pilpres hanya terdapat dua paslon.

Padahal pengalaman sejak penyelenggaraan pemilu secara langsung, dengan hanya dua paslon masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi yang jika tidak diantisipasi akan mengancam keutuhan kebhinekaan Indonesia.

Baca juga: Hadiri Proses Penetapan Capres-Cawapres Terpilih, Anies: Masih Banyak Catatan dalam Sidang MK

Bahkan jika pengaturan tersebut dibiarkan, tidak tertutup kemungkinan Pilpres akan terjebak dengan calon tunggal.

Halaman
1234
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved